Dialog Presiden - Penyerahan Sertifikat Tanah Program Strategis 2016, Gunung Kidul, 10 Oktober 2016

 
bagikan berita ke :

Senin, 10 Oktober 2016
Di baca 1230 kali

DIALOG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENYERAHAN 2.580 SERTIFIKAT TANAH PROGRAM STRATEGIS 2016

GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

10 OKTOBER 2016




Presiden:

Saya ingin satu maju yang dari petani. Coba sini maju. Ada yang dari pedagang ga? Dari sana maju satu.


Ya ini satu dulu petani. Silakan dikenalkan dulu, dari mana.


Petani:

Nama saya Nur Hidayat dari Desa Sidoarjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Pak. Saya petani.


Presiden:

Pak Nur? Pak Nur dari Sleman, di Prambanan.


Ini, urusan tanah ini sudah berapa lama ini? Berapa hari ngurus?


Petani:

Mulai Januari, Pak.


Presiden:

Januari. Blak-blakan mawon lo nggeh.


Petani:

Betul Januari, Pak.



Presiden:

Januari bener? Januari 2010 atau Januari 2016?


Petani:

Januari 2016.


Presiden:

Januari 2016. Berarti Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, sembilan bulan. Ini oktober, sepuluh bulan, sepuluh bulan.


Ngurusnya pripun.


Petani:

Ngurusnya ya sekarang lebih mudah.


Presiden:

Sekarang lebih mudah.


Jangan, jangan, jangan, karena ada Pak Menteri, ngomong, “Lebih mudah.” Enggak apa-apa.


Pak Menteri ini baik kok. Blak-blakan mawon. Terbuka Pak Menteri. Akan diperbaiki kalau memang belum baik.


Gimana?


Petani:

Saya, terus terang, belum pernah sama sekali urusan tanah, Pak.


Presiden:

Belum pernah urusan tanah? Baru ini?



Petani:

Ini yang pertama bagi saya.


Presiden:

Ini yang pertama.


Petani:

Waktunya cukup singkat, melalui program dari dinas pertanian.


Presiden:

Melalui program dinas pertanian.


Berarti bulan Januari itu mengajukan apa ke BPN, atau ke dinas?


Petani:

Kita mendaftarkan, Pak, dalam yang ikut program. Pengumpulan KTP dan KK. Setelah itu pengukuran tempat-tempat mana.


Presiden:

Nah ini—sebentar, saya ingin menginformasikan—kenapa dari dulu sampai sekarang ngurus sertifikat itu lama? Karena juru ukurnya kurang. Di seluruh Indonesia, itu kurang.


Berapa, Pak Menteri, sampai sekarang? Ada berapa yang aktif? 800. Yang aktif tinggal 800 se-Indonesia. Bayangkan.


Kekurangannya adalah, berapa kurangnya kita ini? Kurangnya 10.000. Baru ada 800.


Sehingga tahun depan sudah tidak usah dari dalem, artinya tidak harus juru ukur yang PNS. Nanti akan ada juru ukur dari luar, tapi diberi sertifikat kompetensi bahwa dia memang bisa menjadi juru ukur, sehingga cepat.


Ini sudah bertahun-tahun ada masalah yang kita tahu. Problemnya adalah kurang juru ukur. Tapi tidak ditambah. Ya sampai kapan pun akan seperti ini. Ini yang akan diselesaikan oleh Pak Menteri, Pak Sofyan Djalil.


Rumusnya ya di situ aja. Juru ukurnya yang kurang. Jadi ngantre, ngantre berbulan-bulan, bertahun-tahun.


Terus tadi. Saya, kalau udah yang ruwet-ruwet itu, gampang marah saya. Terus apa lagi tadi? Setelah.


Petani:

Setelah pengukuran.


Presiden:

Diukur, ngukurnya bulan apa? Januari, diukur bulan apa?


Petani:

Bulan Februari.


Presiden:

Februari. Berarti cepet.


Terus setelah itu?


Petani:

Setelah itu pemberkasan.


Presiden:

Pemberkasan.


Ini dari Letter C, dari girik, atau dari apa?



Petani:

Dari Letter C.


Presiden:

Dari Letter C ke sertifikat. Berarti, berkas diberikan bulan?


Petani:

Bulan Maret.


Presiden:

Bulan Maret, diberikan.


Setelah itu ada proses apa lagi?


Petani:

Diteliti secara besar-besaran 3 bulan.


Presiden:

Nah iya, dicek karena ada tanah sengketa atau tidak, ini benar tanah Pak Nur atau tidak, mesti dicek. Itu memang perlu.


Tapi jangan sampai ngurus kayak gitu sampai berbulan-bulan. Kita harapkan nanti, dengan juru ukur yang sudah tambah, kita akan bisa memberikan lebih cepat pelayanan.


Woten usul mboten panjenengan?


Petani:

Usul saya, terutama wilayah Kecamatan Prambanan. Di tempat saya itu, baru dua program. Kecamatan Prambanan pertama kali itu kurang lebih 5 sampai 6 tahun yang lalu. Baru sekarang ini mundur sebanyak 100 juta.



Presiden:

Setiap tahun, enggeh, monggo.


Lebih jelas lagi kan? Kalau tidak ditanya, itu nggak cetol-cetol mungkin. Masyarakat juga biar jelas.


Coba yang lain. Sing pedagang tadi ya. Tadi ada pedagang mebel, mana tadi? Tadi bisik-bisik saya, “Pak, saya juga pedagang mebel.”


Kenalkan dulu asmo.


Pedagang:

Nama saya Pranimin, dari Kelurahan Lambuan, Kecamatan Bayan, Gunung Kidul.


Presiden:

Ngasone opo? Mabel opo?


Pedagang:

Apa saja yang dibutuhkan masyarakat, Pak.


Presiden:

Mebel kok mebel apa saja? Misalnya, pesen lemari saget enggeh? Pesen kursi saget? Pesen dipan saget? Bisa kabeh.


Pedagang:

Gagang pintu juga bisa semuanya, Pak.


Presiden:

Pintu juga bisa. Ya opo-opo iso.


Pedagang:

Ya alhamdulillah, Pak.


Presiden:

Terus niki sabebani berapa meter persegi nih panjenengan?


Pedagang:

529 meter.


Presiden:

529 meter persegi enggeh. Iki ngurusi bulan apa iki?


Pedagang:

Ngurusan ne niko, penyuluhan niko tanggal 5 januari, Pak.


Presiden:

Nggeh sangi, Januari.


Pedagang:

Tanggal 5 Januari lajeng pengukuran ne niko pertengahan Februari, Pak.


Presiden:

Pertengahan Februari ...


Pedagang:

Pung rajeng aken, pertengahan Maret niko berkas-berkas ...


Presiden:

...


Pedagang:

...


Presiden:

Bayar boten?


Pedagang:

Boten, Pak.


Presiden:

Tenan?


Pedagang:

Estu, Pak.


Presiden:

Tenan?!


Pedagang:

Estu!


Presiden:

Sa estu?!


Pedagang:

Sa Estu, Pak! Bebas nego, Pak. Alhamdulillah.


Presiden:

Blak-blakan mawon. Blak-blakan iki.


Dulu di kabupaten mana, saya kejar “Udah Pak, bayar tapi sedikit.”


Ini boten njeh? Harus njeh?


Pedagang:

Kisah saya tidak ada pungutan, Pak.



Presiden:

Yang saya cari, yang saya mau ya ini, yang seperti ini. Gitu loh.


Ya boten bayar, ya bayar. Kalau dipungut, ya enggak apa-apa tapi itu resmi. Yang bayare katakanlah saket tewu, bayare saket tewu.


Pedagang:

Boten Pak. Kalau di desa saya, itu murni tidak ada pungutan.


Presiden:

Udah percaya saya. Berarti bagus, enggak ada pungli, enggak ada pungutan. Ini di Gunung Kidul.


Saya itu apa-apa biasanya saya dengar lewat banyak cara. Yang lapor ke saya lewat facebook, ada yang lewat twitter, ada macem-macem. Ada yang lewat sms, ada yang nyurati. Banyak sekali hal-hal seperti itu.


Tapi memang dari Gunung Kidul belum pernah dengar apa-apa. Jadi, yang dilaporkan Pak Arimin tadi benar apa adanya.


Biasanya, kalau udah saya kejar itu, kalau benar-benar ada, pasti ketemu. Ini berarti bener.


...


Pedagang:

Boten, daerah palem Pak.


Presiden:

...


Pedagang:

...


Presiden:

...


Pedagang:

Belanda, Belgia wonten Pak.


Presiden:

Coba, Pak Arimin ekspor mebelnya ke Belanda, Belgia.


...


Pedagang:

...


Presiden:

Saya titip ya. Kalau sudah punya sertifikat, disimpan. Tapi, kalau ada keperluan yang produktif, sekali lagi produktif, kalau sertifikat itu mau dipakai untuk pinjaman bank, hati-hati. Dihitung! Dikalkulasi! Dihitung! Dikalkulasi! Dihitung! Dikalkulasi!


Jangan sampai punya sertifikat malah lepas ... gara-gara hitungannya tidak tepat. Hati-hati! Apalagi bukan untuk usaha. Hati-hati! Kalau ini kan untuk usaha mebel, ekspor.


Mungkin dimasukkan ke bank 6 bulan, 1 tahun udah bisa mengembalikan. Tapi, kalau yang dipakai misalnya pinjam bank pakai sertifikat untuk beli mobil, untuk beli sepeda motor, saya harus sampaikan jangan! Jangan! Habis itu. Bisa ilang betul.


Kalau untuk yang produktif seperti Pak Arimin, kalau dihitung dan dikalkulasi, silakan. Tapi betul-betul itungannya tepat.


Matur nuwun. Bagus sekali informasinya.


Satu lagi tadi, yang ada ibu rumah tangga, mana tadi? Ini harus ditanya semuanya biar jelas.


Kenalkan dulu. Agak deket Bu.


Ibu Rumah Tangga:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Nama saya Sugiyeni, ibu rumah tangga dari Kabupaten Gunung Kidul, Semen.


Presiden:

Ibu Sugiyeni.


Dulu daftarnya bulan apa?


Ibu Rumah Tangga:

Januari Pak.


Presiden:

Sama pake Letter C, pake fotokopi KTP, pake KK?


Terus diukur bulan apa?


Ibu Rumah Tangga:

Bulan Februari.


Presiden:

Februari. Berarti sama.


Terus?


Ibu Rumah Tangga:

Abis itu bulan Maret sosialisasi.


Presiden:

...


Ibu Rumah Tangga:

Saya itu ibu rumah tangga Pak.


Presiden:

Gapapa, apa adanya aja.


Terus? Bayar boten?


Ibu Rumah Tangga:

Insya Allah boten Pak.


Presiden:

Ini sudah kejadian loh. Bayar boten?


Ibu Rumah Tangga:

Boten.


Presiden:

Saestu?


Ibu Rumah Tangga:

Saestu.


Presiden:

Ibu rumah tangga loh. Boten.



Ibu Rumah Tangga:

Boten, Pak.


Presiden:

Meskipun lima ribu atau slawewu, boten?


Ibu Rumah Tangga:

Boten.


Presiden:

Ke kelurahan boten?


Ibu Rumah Tangga:

Boten.


Presiden:

Ke Kanntor BPN boten?


Ibu Rumah Tangga:

Boten.


Presiden:

Saya, kalau denger seperti gini, seneeeng banget, seneng banget.


Tapi dulu, di kabupaten mana ya? Ada yang menyampaikan ke saya. Saya tanya langsung, saya suruh maju, “Bayar berapa?” “1 juta.” Ya petani sama. “Terus bayarnya gimana?” “Saya dibantu dari bank.”


Ya kan beda-beda. Ini baik. Kabar-kabar, berita-berita seperti ini yang saya inginkan.


Kalau bayar, gapapa. Bayar 100 ribu pun tidak apa-apa, tapi resmi karena memang itu untuk administrasi, sesuai dengan ketentuan dan aturan. Tapi, kalau tidak, itu yang saya cari. Saya kejar pasti!


Enjeh matur nuhun…


Ibu Rumah Tangga:

Disimpan Pak.


Presiden:

Bener disimpan?


Ibu Rumah Tangga:

Betul.


Presiden:

Diplastiki, disimpan yang bener di tempat yang baik ...


Matur nuhun.


Ibu Rumah Tangga:

Njeh, sami-sami.


Presiden:

Saya kira beritanya baik semuanya.


Sekali lagi saya sampaikan saya senang, saya bahagia sekali bahwa rakyat sudah mendapatkan hak miliknya, berupa sertifikat.


Dan kita harapkan hal seperti ini tahun depan akan, karena sistemnya memang baru disiapkan Pak Menteri, agar rakyat itu menerima sertifikat dalam waktu yang cepat, dengan proses yang sederhana.


Dengan biaya, kalau ada biaya, juga biaya yang murah, karena nanti sebagian akan ditutup dari APBD. Seperti di Jakarta, di Surabaya, akan ditutup. Sebagian juga akan dibantu dari APBN.


Dan kita harapkan kecepatan ini akan menyelesaikan. Tadi Pak Menteri sudah menyampaikan bahwa, 2025, penyertifikatan itu akan selesai.


Tetapi ini sebuah kerja besar, siang malam karena memang yang disertifikatkan ini belum ada 50%, masih banyak sekali yang itu.


Kalau diterus-teruskan, akan menimbulkan sengketa karena dari orang tua diwariskan ke anak. Nah ini kan menjadi, kalau enggak selesai-selesai, akan ramai hal-hal seperti itu, terutama di kota-kota.


Yang jual beli, ada sertifikat yang numpuk, tumpang tindih, ada dua. Di Jakarta itu, ada satu lahan yang sertifikatnya ada dua, ada yang tiga. Untung di daerah tidak ada.


Ini menyebabkan sengket-sengketa tanah seperti itu. Kadang-kadang membuat konflik antarmasyarakat dengan masyarakat, antarmasyarakat dengan perkebunan, antarmasyarakat dengan perusahaan.


Inilah yang ingin kita selesaikan agar ada ketenangan di masyakarat karena pegang semuanya, HM-nya, Hak Miliknya, sehingga semuanya merasa tenang.


Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.


Dan tadi Pak Gubernur terakhir juga menyampaikan, kalau sudah pegang sertifikat juga, jangan justru tanahnya dijual, apalagi untuk membeli hal-hal yang konsumtif. Ini juga pesan dari beliau. Saya kira tolong juga kita ingat-ingat.


Dan Pak Menteri BPN, terima kasih atas proses-proses yang sudah baik ini. Tahun depan, saya harapkan pemberian sertifikat seperti ini besar-besaran akan terus kita lakukan di setiap kabupaten. Dan kita harapkan, apa yang sudah saya berikan target tadi, angka 5 juta tahun depan, angka 7 juta 2018, 2019 9 juta, itu betul-betul kita bisa wujudkan sesuai dengan jumlah yang ada.


Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. terima kasih. Saya tutup.


Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden