Cara Berpikir Moderat dan Dinamis Kunci Membangun Peradaban Islam

 
bagikan berita ke :

Kamis, 11 Februari 2021
Di baca 2291 kali

Jakarta, wapresri.go.id – Islam pernah mencapai masa puncak kejayaan yaitu dari tahun 800 sampai 1258 Masehi hingga peradaban Islam menjadi supremasi peradaban dunia. Pada masa itu, Islam menyumbangkan berbagai ilmu pengetahuan yang menjadi dasar peradaban modern saat ini, seperti ilmu kedokteran, fisika, aljabar, astronomi, dan sebagainya. Pelestarian dan penerapan cara berpikir yang moderat, dinamis, namun tetap dalam koridor manhaji dan tidak ekstrim adalah kunci membangun peradaban Islam pada saat itu.

 

“Saya memandang bahwa salah satu hambatan dalam perkembangan peradaban saat ini antara lain adalah cara berpikir sempit dan tidak terbuka terhadap perubahan,” ungkap Wapres saat menghadiri acara Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-65 Universitas Ibnu Chaldun Jakarta dan membuka Seminar Internasional dengan tema “Membangun Peradaban Islam Berbasis Masjid” melalui konferensi video di Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2, Jakarta Pusat, Kamis (11/2/2021).

 

Oleh sebab itu, Wapres tidak ingin umat Islam ikut dalam arus berpikir sempit, seperti fenomena yang muncul belakangan ini sehingga dapat mengganggu perkembangan peradaban Islam.

 

“Contoh sederhana cara berpikir sempit adalah tidak percaya bahwa Covid-19 adalah nyata, atau percaya pada teori-teori konspirasi tanpa mencoba untuk memahami fenomena dengan akal sehat dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan,” tutur Wapres.

 

Cara berpikir sempit itu, lanjutnya, juga merupakan salah satu penyebab munculnya sifat egoistik, tidak menghargai perbedaan pendapat serta tidak mau berdialog.

 

“Cara berpikir sempit juga bisa melahirkan pola pikir yang menyimpang dari arus utama atau bahkan menjadi radikal yang dapat menjustifikasi kekerasan dalam menyelesaikan masalah,” terangnya.

 

Selain itu, tambah Wapres, cara berpikir sempit juga menghambat dan kontra produktif terhadap upaya membangun kembali peradaban Islam saat ini.

 

“Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak negara berpenduduk muslim masih tergolong under developed country dan mengalami ketertinggalan dalam bidang ekonomi, pendidikan, iptek dan bidang lainnya,” ujarnya.

 

Oleh sebab itu, Wapres berharap umat Islam dapat kembali melestarikan cara berpikir (manhaj al-fikr) yang bisa menjadi sumber terbentuknya peradaban Islam sebagaimana terjadi di era keemasannya yakni cara berpikir wasathy yang moderat dan dinamis.

 

“Bagi saya, cara berpikir yang moderat dan dinamis tersebut mengandung arti bahwa kita tidak bisa hanya memahami secara tekstual/statis pada teks semata-mata (al jumuud ‘ala almanqulaat) serta menolak perkembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengabaikan motivasi agama (ruh diniyah) dalam memandang dan menyikapi setiap persoalan yang muncul dalam kehidupan keseharian,” paparnya.

 

Maksudnya di sini, imbuh Wapres, tidak berpikir secara liberal. “Dengan demikian cara berpikir Islami itu tidak tekstual dan tidak liberal (la tektualiyan wala liberaliyan) tetapi moderat (wasathiyan/ tawassuthiyan),” ungkapnya.

 

Dengan berbagai argumentasi tersebut, menurut Wapres, upaya untuk membangun kembali peradaban Islam adalah dengan mengembalikan cara berpikir wasathy (manhaj al-fikr al-wasathy) yang moderat (tawasuthiyaan), dinamis (tathawuriyan), manhajy (manhajiyan), dan tidak ekstrim.

 

“Cara berfikir wasathy ini merupakan jalan lurus yang senantiasa kita minta dalam setiap shalat dengan bacaan (Ihdinas shirathal mustaqim). Shirathal mustaqim adalah jalan moderat (tengah). Bukan jalan yang melenceng ke kanan (as-shirath al-ifrathy) ataupun jalan yang melenceng ke kiri (as-shirath al-tafrithy),” jelasnya.

 

Ia menambahkan bahwa ciri-ciri cara berpikir wasathy, antara lain senantiasa menjaga dan mengamalkan manhaj yang telah dirumuskan para ulama terdahulu yang masih relevan dan mengakomodasi manhaj baru yang lebih baik, serta senantiasa melakukan perbaikan dan inovasi secara terus menerus sehingga tercipta kondisi yang lebih baik dari waktu ke waktu (continuous improvement) atau al islah ila ma huwa al ashlah tsumma al ashlah fa al ashlah.

 

“Oleh karena itu, penguatan cara berpikir wasathy harus secara istiqamah terus dilakukan agar umat Islam dan para tokohnya tetap dalam cara berpikir dan bertindak yang wasathy,” ujarnya.

 

Adapun tempat yang paling baik untuk melakukan penguatan cara berpikir wasathy tersebut, sambung Wapres, adalah masjid, karena tidak ada umat Islam yang lepas dari pengaruh masjid.

 

“Sehingga dalam jangka panjang hal itu bisa menjadi embrio membangun kembali peradaban Islam dan menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik (khaira ummah),” pungkasnya. (EP-BPMI Setwapres)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
5           0           1           0           2