Bendera Pusaka, Harta Berharga yang Harus Dijaga

 
bagikan berita ke :

Jumat, 11 Agustus 2017
Di baca 7649 kali

Kisah ini berawal dari Ibu Fatmawati, Ibu Negara Republik Indonesia pertama. Dalam buku kumpulan catatan kecilnya yang diberi judul “Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Bagian 1”, terbitan PT Delta Rohita, pada tahun 1978, Ibu Fatmawati menjelaskan bahwa kain untuk Bendera Pusaka merupakan pemberian Pimpinan Barisan Propaganda Jepang, Hitoshi Shimizu melalui pemuda bernama Chairul Basri.

 

Berkenaan dengan pengumuman Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 yang menjanjikan bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada masa itu, dua blok kain merah dan putih berbahan katun asal Jepang yang diberikan pada Oktober 1944 kemudian dijahit dengan mesin jahit tangan, dan disulap menjadi sebuah bendera. Dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjangnya, Bendera Negara memiliki rasio warna merah dan putih sebesar 2:3.

 

Bak ramalan yang tepat sasaran, kurang dari setahun kemudian, Bendera Pusaka dinaikkan pertama kali di rumah Presiden Soekarno, di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta, setelah Presiden Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Jum’at, 17 Agustus 1945. Bendera dinaikkan pada tiang bambu oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang dipimpin Kapten Latief Hendraningrat. Saat Bendera Pusaka dinaikkan, lagu “Indonesia Raya” pun dinyanyikan secara bersama-sama.

 

Digantinya Peran Bendera Pusaka oleh Bendera Duplikat

 

Sejak pengibaran pertamanya, tanggal 17 Agustus diperingati sebagai Hari Kemerdekaan RI. Upacara Pengibaran dan Penurunan Bendera Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden RI dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta dengan menggunakan Bendera Pusaka. Akan tetapi, karena kerapuhan bendera, sejak tahun 1969, bendera yang dinaikkan di Istana Merdeka merupakan duplikat.

 

Sejauh ini, Bendera Pusaka telah 3 kali mengalami duplikasi. Bendera Pusaka diduplikasi pertama kalinya pada tahun 1969, atas permohonan Husein Mutahar, Dirjen Udaka Kemendikbud pada waktu itu dan mantan ajudan Presiden Soekarno. Saat itu, Husein Mutahar, yang juga pencipta lagu Hymne Syukur dan Mars Hari Merdeka mengajukan syarat bahwa duplikasi Bendera Pusaka haruslah terbuat dari benang sutera asli dan menggunakan zat pewarna dan alat tenun tradisional. Namun demikian, syarat penggunaan warna merah yang diajukan tidak dapat terpenuhi karena dianggap tidak sesuai dengan warna merah Bendera Pusaka. Kemudian zat pewarna itu pun diganti dengan kain wol inggris. Penjahitan dan pewarnaan duplikasi bendera pun dilakukan oleh Tim Pembuat Duplikat Bendera Pusaka di Jakarta. Bendera Negara, Sang Merah Putih ini pun berkibar 15 tahun lamanya, hingga tahun 1984.

 

Husein Mutahar kembali mengajukan permohonan kepada Presiden Soeharto untuk membuat kembali duplikasi kedua Bendera Pusaka, dengan alasan duplikat pertama telah usang. Presiden Soeharto pun menyetujui duplikasi Bendera Pusaka kedua, kemudian berkibarlah Sang Merah Putih itu selama 30 tahun di Istana Merdeka sejak tahun 1985 hingga 2014. Di tahun 2015, duplikasi Sang Merah Putih yang ketiga dikibarkan saat upacara kemerdekaan Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta.

 

Makna Merah Putih

 

Catatan sejarah mengungkapkan warna merah dan putih terinspirasi dari warna panji atau pataka bendera Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Dalam pararaton (kitab raja-raja), dijelaskan bahwa bendera merah dan putih dianggap sebagai lambang kebesaran kerajaan seperti bendera perang yang digunakan Sisingamangaraja IX, bendera berwarna merah dengan dua pedang kembar Piso Gaja Dompak (pusaka Sisingamaharaja I-IX) berwarna putih. Bahkan Kerajaan Bone Sulawesi Selatan menjadikan bendera merah putih atau yang biasa disebut Woromporong sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan.

 

Namun, bukan sekedar memaknai arti keberanian dan kesucian, warna merah dan putih juga berkaitan dengan nilai budaya Indonesia. Dalam tradisi Jawa, merah dan putih dilambangkan sebagai gula merah dan nasi putih karena keduanya merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia.

 

Sebagai sebuah simbol negara, penggunaan Bendera Merah Putih sendiri diatur oleh UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam Pasal 1, ayat (1) dijelaskan dalam Undang-undang yang dimaksud Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih. Demikian pula untuk ukuran Bendera Negara yang telah ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (3), disebutkan ukuran untuk penggunaan di lapangan Istana Kepresidenan yaitu 200x300cm.

 

Berdasarkan regulasi ini, bendera merupakan sarana memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara,  identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara serta untuk menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

 

Meskipun dewasa ini, bendera dapat dengan mudahnya kita beli, bendera pertama atau bendera pusaka menyimpan sejarah yang tak ternilai harganya. Perlu kita maknai bahwa Sang Merah Putih bukan hanya sekedar kumpulan benang yang dirajut menjadi kain. Lebih daripada itu, ia merupakan simbol negara yang harus terpatri kokoh dalam jiwa. Bendera Negara mempunyai sejarahnya sendiri sebagai sesuatu yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa. Di masa kini, sudah menjadi tugas kita untuk memperjuangkan dan mempertahankan Bendera Negara agar tetap berkibar di ujung tiang tertinggi di Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengukir prestasi dan membawa nama harum Indonesia dalam berbagai bidang maupun keahlian yang kita miliki.

 

Pemindahan Bendera Pusaka ke Monas

 

Saat ini, Sang Merah Putih hasil tenunan Ibu Fatmawati masih tersimpan di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam rangka Bulan Kemerdekaan, Agustus 2017 pihak Istana bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana akan memindahkan Bendera Pusaka ke Monumen Nasional (Monas). Bendera Pusaka akan dipindahkan di Ruang Kemerdekaan, Monas menemani naskah asli Proklamasi Kemderdekaan Indonesia, lambang negara Indonesia (Garuda Pancasla dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika), dan peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Kepala Seksi Pelayanan Unit Pengelola Kawasan Monas, Endrati Fariani menjelaskan rencana pemindahan akan dimulai pada 1 Agustus 2017. Untuk keamanannya, akan disediakan TNI dan ruangan akan dijaga selama 24 jam. Bendera pusaka akan disimpan dengan cara dibentangkan di dalam sebuah vitrin atau lemari pajang yang terbuat dari kaca antipeluru dengan ukuran yang sama dengan bendera pusaka.

 

“Memang kalo berdasarkan konservasi yang bagus itu dibentangkan. Jadi setelah dibentangkan, perintah kedua digulung. Jadi tidak  boleh dilipat. Kemudian tidak boleh kena sinar matahari yang terlalu lama, suhu dan kelembapannya juga harus terjaga,” terang Endrati.

 

Penyimpanan ini akan dilengkapi kaca antipeluru setebal 12 sentimeter dan ketinggian sekitar 30 sentimeter. Suhu di dalam kaca juga akan dilengkapi pengatur suhu. Selain itu, tempat penyimpanan ini akan menggunakan tenaga hidrolik sehingga naik dan turun secara otomatis.

 

Lebih lanjut Endrati menerangkan, “Itu sudah ada humidifier nya yang mengatur suhu, kelembapan kemudian sensor, sensor terhadap asap. Jadi kalau tahu-tahu ada asap itu akan berdering. Ini kan kita yang menyediakan, mungkin nanti diperiksa kembali oleh TNI keamanannya”.

 

Rencananya, penyimpanan bendera pusaka ini akan diresmikan pada 12 Agustus 2017 mendatang.
Bendera Pusaka ini nantinya akan dijaga 24 jam dengan pengawalan gabungan TNI dan Polri. (MA/DO/DN/MN/NH/IC-Humas Kemensetneg)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
23           35           8           7           10