POLRI dan masyarakat diharapkan terus berjalan beriringan, dan saling melengkapi, serta berkeadilan bagi semua. Dengan semangat tersebut, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia menggelar audiensi bersama berbagai kelompok masyarakat sipil pada Selasa (02/12) di Ruang Aspirasi, Kementerian Sekretariat Negara, untuk menyerap masukan, kritik dan aspirasi sebagai dasar perbaikan serta perubahan konstruktif di tubuh POLRI.
Audiensi dibuka oleh Jimly Asshidiqie, selaku Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, yang menyampaikan audiensi perlu mendapatkan masalah dan gagasan sebagai dasar reformasi POLRI yang adaptif, responsif, dan dekat dengan masyarakat.
“Waktu kami 3 bulan untuk memberikan gagasan kepada Presiden, untuk itu kami mengharapkan masukan objektif. Titik reformasi ini dari masyarakat, maka pertama kali yang kami undang adalah masyarakat untuk menyampaikan keluhan, termasuk solusinya,” ujar Jimly.
Mengawali audiensi, Maidina Rahmawati, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyoroti beberapa hal yang berkaitan dengan POLRI, seperti KUHAP, peraturan internal, penyelidikan, praperadilan, dan penindakan yang dilakukan oleh polisi.
“Peraturan internal dan mekanisme penyelidikan menjadi pemicu utama penyalahgunaan wewenang di POLRI. Karena itu, kami merekomendasikan pelarangan aturan internal yang menambah kewenangan, penghapusan restorative justice di tahap penyelidikan khususnya dalam kasus narkotika, kewajiban mempertanggungjawabkan setiap tindakan penyelidikan di pengadilan, serta pencabutan dan pembahasan ulang RUU KUHAP,” ujar Maidina.
Tamrin Amal Tomagola, Ketua Dewan Pengarah Public Virtue Research Institute (PVRI), menyebutkan bahwa permasalahan POLRI ditelusuri melalui 5 ranah, yakni ranah struktural, ranah institusional, ranah sosial budaya, ranah landasan hukum, dan ranah operasional.
“Politisasi dan komersialisasi telah melemahkan independensi POLRI, sehingga reformasi diperlukan mulai dari pemusatan karir Perwira di POLDA, penugasan pimpinan yang memahami kultur daerah, hingga pembaharuan KUHAP dan desain operasional kepolisian. Lebih lanjut, saya merekomendasikan agar POLRI berada di bawah Kemendagri,” jelas Tamrin.
Tamrin melanjutkan, bahwa ke depan agar ada pertimbangan bahwa posisi Polri berada dibawah koordinasi Kementerian, hal ini juga sebagaimana kelembagaan TNI yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertahanan.
Rizky Argama, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), mengapresiasi adanya partisipasi masyarakat yang dihadirkan oleh Komisi Percepatan Reformasi POLRI dan menyebut bahwa reformasi di tubuh POLRI merupakan salah satu fokus yang sedang dilakukan PSHK.
“Kami saat ini juga sedang berfokus pada penelitian yang berkaitan dengan reformasi di tubuh POLRI. Inti dari penelitian kami yaitu terletak pada penguatan eksternal dan luasnya wewenang dari kepolisian,” ucap Rizky.
Andhy Panca Kurniawan, Direktur dan Pendiri Watchdoc, memberikan perspektif mengenai transformasi kepolisian dari penerapan demokrasi, yang seringkali terjadi perilaku POLRI yang kurang baik terhadap masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasinya.
“Akses informasi kerap tertutup dan aspirasi sering dikriminalisasi. Polisi perlu membedakan kritik, satire, dan hoaks, karena persoalan informasi seharusnya dimufakatkan, bukan dipidanakan. Kami ingin Polri benar-benar bertindak sebagai institusi sipil yang menjaga ruang demokrasi,” ungkap Andhy.
Bambang Rukminto, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyoroti mengenai budaya di tubuh POLRI yang turut berkontribusi dalam maraknya praktik arogansi di lapangan yang kemudian menjadi cap dan stigma masyarakat.
“Seringkali masyarakat dihadapkan pada aparat yang arogan, tidak responsif, hingga jual beli pasal. Hal ini membuat kepolisian rawan kepentingan politik, yang ditambah absennya meritokrasi yang memunculkan raja-raja kecil di daerah,” ujar Bambang.
Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch, membahas mengenai praktik kerja yang sering menunjukkan sikap toleran terhadap pelanggaran di lapangan dan penyalahgunaan wewenang.
“Pengawasan yang ketat dibutuhkan bagi Polri. Jika diperkenankan, masyarakat boleh memberikan penilaian ad hoc. Selain itu, Kompolnas harus diberikan kewenangan yang lebih kuat dalam sisi pengawasan” ujar Sugeng.
Saor Siagian, Ketua Tim Advokat untuk Pemberantasan Aksi Premanisme (TUMPAS), menyebutkan bahwa budaya yang mengakar di kepolisian membuat citra institusi ini menjadi semakin buruk dari waktu ke waktu.
"Budaya kepolisian masih didominasi oleh tiga hal utama: suap, pemerasan, dan solidaritas kelompok, dengan militerisme yang sangat kental. Meskipun Polri adalah sipil, namun budaya militeristik ini masih dominan dan sangat rentan. Reformasi dalam kepolisian sangat mendesak untuk memperbaiki hal ini," tegas Saor.
Suleman B. Ponto, dari Tim Advokat TUMPAS, turut menyerukan penguatan kembali atas batas dan identitas institusi POLRI.
"Identitas dan peran Polri perlu diperjelas agar masyarakat dan anggota kepolisian memahami tugasnya. Saat ini, batas peran Polri semakin kabur, seperti keterlibatan di BNN dan banyaknya satuan seperti Densus dan Brimob," ungkap Suleman.
Saiful Wathoni, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria, mengingatkan kembali bahwa kepolisian sering terjebak di tengah-tengah konflik agraria yang terjadi di masyarakat, sehingga perlu adanya penegasan mengenai keberadaan polisi dalam konflik agraria.
"Polisi sering dianggap lebih sebagai ancaman daripada penjaga keamanan, karena sering melakukan penangkapan demi kepentingan korporasi. Reformasi Polri sangat penting untuk kepentingan rakyat, terutama di sektor agraria," ungkap Saiful dalam audiensi.
Menanggapi pendapat konstruktif dari peserta audiensi, Jimly Asshidiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, mengapresiasi setiap masukan dan akan didiskusikan di internal komisi.
"Masukan dari saudara-saudara sangat baik dan akan kami bahas di komisi, untuk nantinya menjadi rekomendasi dalam upaya perbaikan reformasi di tubuh Polri ," ujar Jimly.
Mengulas mengenai Peraturan Kapolri, Badrodin Haiti, Anggota Komisi Percepatan Reformasi POLRI, menyebutkan bahwa pelanggaran dalam budaya POLRI yang telah disebutkan sudah diatur dalam peraturan, namun masih minim pengawasan dan penindakan.
“Institusi telah mengatur semua permasalahan yang Saudara sampaikan di peraturan, termasuk pola hidup hedonisme, namun tidak dilaksanakan dan tidak ada sanksi. Ini tentunya akan menjadi catatan kami untuk dapat dimasukkan di rekomendasi kepada Presiden,” jelas Badrodin menyampaikan kepada para peserta audiensi.
Mahfud MD, Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, juga menyebutkan bahwa sistem pengawasan terhadap unsur POLRI akan dibahas dan menjadi catatan bagi komisi dalam membuat rekomendasi. (OTH - Humas Kemensetneg)