Pemerintah Yakin APBN Tetap Aman

 
bagikan berita ke :

Kamis, 17 April 2008
Di baca 881 kali


Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, meski harga minyak dunia sudah menembus US$ 114 per barel, jika dirata-rata dari awal 2008, masih pada level US$ 95 per barel. "Itu masih berada di kisaran asumsi makro APBN Perubahan," kata Anggito di Jakarta kemarin.

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mencapai kesepakatan pekan lalu tentang asumsi makro anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan, termasuk asumsi harga minyak US$ 95 per barel. Dengan asumsi itu, subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp 126 triliun dan subsidi listrik Rp 60 triliun.

Selain itu, menurut Anggito, harga yang menjadi acuan pemerintah adalah harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP). Pemerintah tidak menggunakan indeks West Texas Intermediate (WTI) atau patokan harga minyak yang biasa digunakan di bursa berjangka New York, Amerika Serikat. Biasanya, harga ICP lebih rendah US$ 5 per barel ketimbang WTI.

Apalagi, Anggito mengingatkan, lonjakan harga minyak juga berdampak positif bagi pendapatan negara. Penerimaan itu berasal dari bagi hasil migas dan pajak migas. Agar meyakinkan, ia pun menunjukkan data neraca migas yang positif posisinya tahun ini. Jika pendapatan migas Rp 257,2 triliun, pengeluarannya Rp 220,7 triliun, sehingga ada selisih positif Rp 36,5 triliun.

Menteri Koordinator Perekonomian Boediono juga tidak terlampau risau atas melejitnya harga minyak. Alasannya, pemerintah bersama DPR telah mengantisipasi dengan membuat beberapa skenario pengaman di APBN. Di antaranya, pemerintah telah mengalokasikan dana cadangan Rp 9,3 triliun jika harga minyak terus melesat.

Dalam kurun waktu beberapa hari terakhir, harga minyak memang terus melesat hingga menembus rekor baru. Sementara Selasa lalu harga mencapai US$ 112 per barel, kemarin kembali naik ke level US$ 114 per barel di bursa berjangka New York.

Lonjakan harga emas hitam tersebut dipicu oleh seretnya pasokan minyak di Amerika Serikat, Meksiko, Rusia, dan Nigeria, serta melemahnya dolar Amerika. Sebaliknya, permintaan dari negara-negara berkembang, seperti Cina dan India, terus meningkat. "Impor bahan bakar diesel Cina pada Maret lalu naik 49 persen," kata Eric Wittenauer, analis Wachovia Securities, kemarin.

Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak tahun ini akan naik 1,2 juta barel ketimbang 2007 menjadi 86,97 juta barel per hari. Menurut International Energy Agency (IEA), di Cina saja tahun ini konsumsi akan naik 4,7 persen menjadi 7,9 juta barel per hari.

Gara-gara seretnya pasokan itu, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown meminta negara produsen minyak menaikkan produksi guna menekan harga minyak. Namun, Iran sebagai anggota OPEC menolak desakan mendongkrak produksi untuk memangkas harga.

"Mengapa OPEC harus menurunkan harga? Padahal permintaan datang dari Amerika dan Inggris," kata Menteri Perminyakan Iran Gholam Hossein Nozari di Teheran kemarin. "Mereka bisa terus meminta semaunya."

 
 
 
 
 
Sumber:
http://www.korantempo.com/korantempo/2008/04/17/headline/krn,20080417,38.id.html

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0