Sambutan Presiden RI - Silaturahmi dengan Masyarakat Indonesia, Shanghai Mart, 4 September2016

 
bagikan berita ke :

Minggu, 04 September 2016
Di baca 1075 kali

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SILATURAHMI DENGAN MASYARAKAT INDONESIA DI CHINA

SHANGHAI MART, REPUBLIK RAKYAT CHINA

4 SEPTEMBER 2016




Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,


Saya sudah, selama dua tahun ini sudah 3 kali ke Tiongkok, China. Yang lain sekali saja belum. Ini sudah 3 kali. Ketemu Presiden Xi Jinping sudah 5 kali. Telepon, sering banget. Telepon langsung, sering banget.


Saya kenalkan dulu:

Pak Menteri Koordinator Maritim, Pak Luhut Binsar Panjaitan,

Ibu Menteri Luar Negeri, Ibu Retno Marsudi,

Ibu Menteri Keuangan—saya cari-cari di sana—Ibu Sri Mulyani,

Pak Sekretaris Kabinet, Pak Pramono Anung,

Pak Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian,

Pak Menteri Kominfo, Pak Rudiantara,

Pak Enggartiasto, Menteri Perdagangan,

Kepala BIN, Pak Sutiyoso,

Pak Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia,

Yang lain lagi ternyata di depan saya ada Pak Dahlan Iskan—saya tadi lihat-lihat benar gak Pak Dahlan. Ternyata benar,


Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal, terutama kebijakan yang sudah kita ambil.


Yang pertama, komitmen kita sekarang ini hanya ada 2. Yang pertama, keterbukaan. Yang kedua, kompetisi. Openness and competition, dua itu yang kita ambil.


Artinya apa? Dalam era kompetisi, era persaingan seperti ini, ya sudah kita mau buka. Tapi di dalamnya kita juga harus mempersiapkan untuk kita bisa bersaing, bisa berkompetisi. Karena apa? Ya keterbukaan, kompetisi tidak bisa kita tolak-tolak lagi, tidak bisa. “Saya tidak mau,” sudah tidak bisa. “Saya tidak ikut,” sudah sulit sekali sehingga satu-satunya jalan: komitmen kita keterbukaan dan kompetisi.


Kenapa seperti itu? Kita ini sudah, di ASEAN sendiri, kita ini kan sudah enggak ada batas negara lagi. Di ASEAN, udah mulai Januari yang lalu. Dibuka sudah. Singapura mau ke kita, sudah tidak ada batasnya. Kita mau ke Malaysia, sudah tidak ada batasnya. Vietnam mau ke kita, sudah tidak ada halangan lagi. Inilah keterbukaan yang sudah kita jalani dalam scope kawasan di ASEAN.


Tapi ada lagi pertarungan yang lebih besar lagi: antarkawasan.


Sekarang, kalau kita ketemu antarkepala negara, kepala pemerintahan di ASEAN saja, setiap ketemu bergandengan begini. Tapi batin saya, “Kamu pesaing saya, kamu pesaing saya.” Itu jangan dianggap awam, tapi mereka pesaing.


Kalau tidak saya ingatkan, kadang-kadang saya merasa ragu, “Ini kawan baik saya, tetangga saya, teman baik saya.” Habis kita kalau perasaan kita seperti itu. Mereka pesaing, pesaing. Entah yang namanya Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Laos, Brunei, Filipina, itu pesaing kita di tingkat Asia.


Kemudian antarkawasan kita lihat. Sekarang kita ada ASEAN Economic Community. Tapi ada yang lebih besar. Misalnya TPP, bloknya Amerika ada. RCEP, bloknya China ada lagi. Nanti bloknya EU ada lagi.


Inilah, kalau kita lihat dalam jangka 10, 20, 30, 50 tahun yang akan datang, mau tidak mau ya kita harus berkompetisi, mau tidak mau kita harus bersaing, mau tidak mau kita harus bertarung. Tidak ada pilihan. Jangan ada yang berpikir, “Saya tidak mau masuk ke TPP. Tidak mau saya masuk ke bloknya Amerika, tidak mau.”


Apa yang akan terjadi? Ya barang kita yang masuk ke sana diblok semuanya, kena pajak 20%, kena pajak 15%. Mau apa? Yang lain tidak ada pajaknya, bea masuknya. Kan kalah bersaing barang-barang kita. Inilah hal-hal yang mungkin sebagai pengantar, yang harus saya sampaikan.


Kita pun sebetulnya, kalau diadu, selalu menang. Tapi, kalau disubsidi, dimanjakan, justru kita semakin malas-malasan. Saya berikan contoh. Ini tipikal orang kita. Saya pelajari betul. DNA kita ini apa sih? Sebetulnya perjalanan panjang yang saya amati satu per satu seperti itu.


Coba kita lihat yang berkaitan dengan bank, yang berkaitan dengan bank. Coba kita lihat gambar. Bank BNI, Bank BRI tahun-tahun ‘75 menuju ke ’80, jam 13.00 sudah tutup kayak PNS kita saat itu. Jam 13.00 sudah tutup, 13.30 sudah tutup.


Saya ingat betul karena saat itu saya masih SMP. Kalau disuruh ngambil uang sama orang tua itu, kalau telat sedikit, sudah tutup banknya. Loketnya juga kecil gitu. Gambarnya seperti itu. Itu loket-loket bank kita tahun ’75-an.Kenapa? Karena tidak ada pesaingnya, tidak diberi pesaing.


Tapi, begitu ada persaingan, ada swasta masuk, ada asing masuk, apa yang terjadi? Kalah kita? Tidak. Keok? Tidak. Justru bank-bank pemerintah kita menjadi semakin baik.


Kita lihat. Gambarnya kita lihat. Sistemnya diperbaiki, pelayanannya diperbaiki, karyawannya di-upgrade semuanya, SDM-nya. Coba tanya yang kerja di BNI, BRI, Mandiri, dan bank-bank pemerintah yang dulu jam 13.00 pulang. Sekarang jam 10, jam 11 malam baru pulang.


Dan apa hasilnya dengan kompetisi seperti itu? Bank BRI tahun yang lalu untungnya 24 triliun. Bank swasta jauh kalah. Bank Mandiri keuntungannya 18 triliun. Bank swasta, bank asing juga kalah dari bank pemerintah.


Artinya dulu kita ketakutan sendiri, “Kalau nanti asing masuk, kita akan kalah. Kalau ada kompetisi, swasta, kita akan kalah.” Tidak.


Dan bank-bank swasta Indonesia ini juga sama. Kalau tidak diberi pesaing, itu enak-enak. Udah untung sekian, udak enak, malas. Apalagi disubsidi, lebih malas lagi.


Inilah tipikal orang-orang kita sehingga perlu diberi pesaing, perlu diberi kompetitor. Inilah yang tadi di depan saya sampaikan: kompetisi dan keterbukaan. Ini, kalau benar-benar bisa kita lakukan dengan merombak, mengobrak-abrik regulasi-regulasi, aturan-aturan yang ada, inilah nanti yang akan memperbaiki ekonomi negara kita.


Coba lihat lagi Pertamina. Tahun-tahun ‘75, ‘80, ’85, SPBU, pom bensin seperti itu gambarnya: kumuh, kotor, tidak pernah dicat bangunannya itu. Tetapi, begitu diberi pesaing, Shell masuk, Total masuk, Petronas masuk, kaget, Pertamina kaget. Langsung diperbaiki semuanya. Pompa-pompa bensinnya jadi seperti di gambar-gambar itu.


Dulu, yang isi bensin itu seragamnya sudah lusuh-lusuh, dipakai terus. Sekarang sudah pasti bersih. Melayani dengan senyum. Bangunannya juga dicat semuanya.


Karena apa? Ada persaingan. Kalau dia tidak memperbaiki, tidak meng-upgrade dirinya, ya pasti kalah.


Tapi tidak, nyatanya tidak kalah. Inilah baik BUMN, baik swasta-swasta kita, kalau ada persaingan, itu jangan ada yang berpikir, “Takut ada persaingan, Pak, takut.” Tidak. Percaya kepada saya.


Orang kita ini, kalau sudah diberi pesaing, itu tenaga dalam keluar semuanya, kerja keras semuanya. Tapi, kalau tidak, apalagi diberi subsidi....


Subsidi BBM, kita ingat satu tahun 300 triliun, 300 triliun. Apa yang terjadi? Ya sudah, dibuang itu untuk bensin. Bakar tiap hari, hilang, hilang, hilang.


Padahal yang disubsidi siapa? Yang punya mobil. Subsidi itu sebetulnya untuk yang miskin. Tapi ternyata subsidi untuk yang punya mobil, benar tidak?


Begitu saya dilantik, sebulan setelah itu subsidi itu saya hapus karena itu. Jawabannya yang tadi. Waktu itu didemo 2 bulan, 3 bulan. Ya tidak apa-apa didemo. Tidak bisa kita larang.


Contoh lagi: Garuda. Garuda yang dulu coba, gambar yang di sebelah sana. Pelayanannya seperti itu kalau kita ingat dulu ya.


Tapi begitu ada—dulu ada berapa maskapainya? Ada Garuda, Merpati—tapi begitu sekarang ada kurang lebih 80-an maskapai, langsung semuanya berubah, langsung semuanya berubah. Pelayanan baik. Pesawat baik. Pramugarinya juga semuanya melayani dengan sangat baik. Dan sekarang kita masuk 5 besar brand yang terbaik di Asia.


Karena apa? Ada persaingan. Jadi, jangan takut ada persaingan karena kita sudah membuktikan. Swasta pun sama. Contoh-contoh perusahan swasta yang tetap bersaing justru menjadi meloncat. Itulah memang tipikal orang-orang kita.


Tapi, kalau kita lihat, kita sedih. Coba lihat kemudahan berusaha di Indonesia, ease of doing business di Indonesia dibandingkan dengan negara yang lain.


Indonesia sekarang ini nomor 109 tahun yang lalu, nomor 109. Singapura nomor satu. Malaysia nomor 18. Thailand nomor 49. Apa komentar kita kalau ada angka-angka seperti itu? Kita jauh sekali. Dengan Singapur, sangat jauh. Dengan Malaysia, sangat jauh. Dengan Thailand, masih sangat jauh. Ini kemudahan dalam berusaha.


Saya suruh ngumpulin, berapa sih sebetulnya? Kok aturan di kita ini ruwet sekali? Ini ada apa?


Ternyata kita mempunyai 42.000 regulasi, aturan. 42.000, termasuk perda (peraturan daerah), peraturan menteri. Nanti ada Peraturan Presiden. Ada peraturan banyak sekali sehingga malah menjerat kita sendiri, tidak bisa bergerak, tidak bisa fleksibel, tidak bisa cepat memutuskan.


Inilah situasi yang kita hadapi sekarang sehingga bulan yang lalu saya hapuskan 3.153 peraturan daerah. Tidak usah pakai kaji-kajian. “Pak, ini harus dikaji dulu.” Tidak usah kaji-kajian. Kalau dikaji, itu sebulan hanya dapat 8 gimana? Berapa puluh tahun ini rampung?


Sudahlah, jangan menambahi ruwet, membebani rakyat, udahlah. Terus, ini terus akan kita potong, kita habiskan, kita potong, kita habiskan, kita potong, kita habiskan. Sudahlah, jangan memproduksi perda, undang-undang, peraturan-peraturan yang meruwetkan kita sendiri.


Kalau mengeluarkan itu, mengeluarkannya peraturan yang justru memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk bergerak, berusaha. Perda juga sama. Kalau mengeluarkan sesuatu, itu harus mempercepat, bukan menyulitkan kita sendiri. Dan ini, hasilnya ya seperti ini: nomor 109.


Tapi saya target tahun depan, saya target kepada menteri-menteri, karena ini gabungan beberapa menteri, harus di angka 40. Ada yang nawar, “Pak, jangan 40. Berat, Pak. 60.” “Enggak, enggak mau saya. 40 ya 40, udah.”


Kemudian indeks daya saing global, coba kita lihat indeks daya saing global kita. Ya harus kita akui sama, kalah dengan Malaysia, kalah dengan Singapura, kalah dengan Filipina, kalah dengan Thaliand, kalah dengan Malaysia. Ya inilah kenapa aturan-aturan ini terus kita perbaiki? Ya karena angka-angka, rasio-rasionya udah seperti itu. Angka-angka menunjukkan udah. Kita tidak bisa.


Inilah problem-problem yang kita hadapi sehingga sekarang ini yang kita lakukan ada 3 hal. Tiga hal besar yang kita lakukan. Ini sebuah fondasi besar yang sedang kita siapkan, yaitu pembangunan infrastruktur—yang pertama—secepat-cepatnya.


Yang kedua, deregulasi dan debirokratisasi tadi, memotong-motong aturan, menyederhanakan aturan sehingga semuanya menjadi cepat.


Kemudian yang ketiga, pembangunan sumber daya manusia.


Kita memang baru ini memulai yang infrastruktur dan deregulasi-deregulasi. Infrastruktur, kalau kita lihat sekarang, hampir semuanya saya perintahkan untuk dimulai udah, dimulai. Kalau sudah dimulai, itu menghentikannya sulit. Saya udah mikirnya seperti itu saja. Kalau kita memulainya masih ragu-ragu, enggak akan mulai-mulai.


Saya berikan contoh MRT di Jakarta. Itu sudah 26 tahun. Perencanaannya ada.


Tapi, karena tidak diputus-putuskan, ya sampai detik ini kita belum mempunyai MRT yang bisa kita pakai, subway yang bisa kita pakai. Coba, kalau diputuskan 26 tahun yang lalu, 10 tahun setelah itu sudah punya.


Sekarang masih dalam proses dibangun. Baru selesai 2019, itu pun baru satu jalur. Padahal nanti banyak sekali load-nya.


Kalau saya, apa pun yang itu diperlukan, sudah, eksekusi, diputuskan, dimulai, diputuskan, dimulai, diputuskan, dimulai, diputuskan, dimulai, diputuskan, dimulai. Hanya itu saja. Kalau enggak seperti itu, enggak akan mulai-mulai. Saya hafal tipikal orang kita. Itu hafal saya.


Juga jalan tol. Jalan tol, 71 tahun kita merdeka, kita baru memiliki 840 km jalan tol, 840 km. Di sini, saya tidak tahu sudah berapa ratus ribu.


Awal tahun yang lalu, untuk Tol Trans-Sumatera sudah dimulai. Saya perintahkan, “Dimulai.” “Pak, nanti anggaran, uangnya?” “Sudah, dimulai. Enggak usah tunggu-tunggu. Dimulai.” “Dari Lampung, Pak?” “Dimulai.” “Pak, nanti pembebasan tanah?” “Sudah, dimulai. Perintah saya jelas: dimulai.”


Kalau tidak, ya masih hitung-hitungan, “Pak, di awalnya seperti apa? Return of investment-nya seperti apa?” Ya kalau kita berhitung-berhitungnya untung-rugi, untung-rugi, tidak akan mulai-mulai. “Pak, ini error masih 8%, masih 9%.” Kapan mau mulai kita?


Contoh yang paling ekstrem: kereta cepat yang Jakarta—Bandung. Itu hanya berapa sih? Kira-kira 140 km. Baru akan, baru akan dimulai, sudah ramai sekali. 140 km, ramainya kayak gitu, menghabiskan energi. Di sini, setahun itu membangun 2.000 km, setahun.


Tadi pagi, saya ketemu CEO-nya China Railway. Saya tanya, “Sekarang kereta api cepat di sini sudah berapa?” Saat ketemu saya tahun yang lalu, dia ngomong, 18.000. Sekarang, dia sudah hampir 21.000 km, 21.000 km. Gimana ngejarnya? Ngejarnya gimana? Saya tanya.


Kita ini juga negara besar lo. Baru 140 km saja, ramainya. Ramai debatnya itu lo, bukan ramai kerjanya. Mau diterus-teruskan?


Tidak akan mulai-mulai. Dimulai sambil belajar, WIKA belajar konstruksi, INKA belajar mengenai relnya seperti apa, body-nya seperti apa. Semuanya seperti itu sehingga ada transfer of technology, transfer of knowledge. Semuanya ada, semuanya.


Belum dimulai saja, debatnya itu enggak tahu demo berapa bulan kemarin. Ramai sekali.


Ini jalan tol. Kemudian jalur LRT. Awal tahun yang lalu, dimulai dari Lampung menuju ke Aceh. Mungkin dari Aceh akhir tahun ini juga menuju ke Lampung, dari Lampung menuju ke Aceh. Nanti ketemu di tengah. Berat.


Tapi terlambat kita. Saya ngomong apa adanya. Terlambat kita sehingga saya perintahkan kepada PT-PT yang mengerjakan ini, BUMN yang mengerjakan ini, swasta yang mengerjakan ini, “Saya tidak mau dikerjakan satu shift, tidak mau.” “Ya sudah, Pak, dua shift.” ”Saya tidak mau dua shift. Saya minta dikerjakan tiga shift karena kita ini sudah terlambat terlalu lama. Tiga shift: kerja pagi, siang, malam, pagi, siang, malam.


Gambarnya ada. Nanti pasti ada yang sangsi, “Sudah dimulai belum, Bapak?” sehingga saya bawakan gambarnya. Ada buktinya.


Sudah dimulai banyak. Sudah selesai kira-kira yang sudah dicor dan diaspal sudah hampir 48 km. 48 km ya pendek kalau dibandingkan di sini.


Jangan ngomong-ngomong orang sini. Di sini kerjanya cepat sekali, cepat sekali, sistematis sekali, dan mass product. Cepat banget.


Itulah yang harus kita lihat, kita copy, dan kita pakai untuk kecepatan kerja kita.


Pelabuhan juga sama. Kita ini ada 17 ribu pulau, 17 ribu pulau, Indonesia. Kalau kita tidak punya pelabuhan-pelabuhan yang besar, yang sedang, yang kecil, dan itu siap semuanya, ya connectivity-nya seperti apa? Bagaimana hubungan antara pulau dan pulau, antara daerah dan daerah, antara provinsi dan provinsi?


Oleh sebab itu, ya sudah, pelabuhan yang besar-besar, yang gede-gede dulu dibangun, dan yang sedang-sedang, yang kecil-kecil, semuanya dimulai. Yang bisa dikerjakan swasta, silakan swasta. Yang bisa dikerjakan investor, silakan investor. Yang bisa dikerjakan BUMN, silakan BUMN. Yang betul-betul tidak untung, yang di Indonesia Timur, sudah saya perintahkan dari APBN. Kalau tidak seperti itu, ya tidak dimulai-mulai.


Tahun yang lalu, sudah dimulai di Kuala Tanjung. Sudah 2.000 hektare di sana.


Sekarang, kalau membuat pelabuhan, saya tidak mau kalau hanya 50 hektare, hanya 20 hektare. Sudah, 2.000 hektare langsung karena kita melihat 50-100 tahun yang akan datang, untuk kepentingan bangsa dan negara. Kalau enggak, nanti kita hanya akan bikin 20 hektare atau 50 hektare. Kanan-kirinya diduduki penduduk. Bingung nanti kita suatu saat membebaskannya. Ya sudah, blok langsung 2.000 hektare.


Nanti integrated, terintegrasi dengan kawasan industri, terintegrasi dengan pusat-pusat logistik sehingga semuanya efisien.


Kuala Tanjung sekarang sudah selesai—terakhir saya cek—sudah selesai 47%. Cepat sekali. Itu kerjanya pagi, siang, malam, pagi, siang, malam. Akhir tahun depan, selesai.


Sekarang tugas saya tidak groundbreaking. Saya tidak mau groundbrekang-groundbreaking, tidak mau. Kerjakan dulu. Sudah bekerja, ada progresnya, baru saya lihat. Saya perintahkan nanti kalau sudah mulai bekerja. Tidak pakai peletakan batu pertama. Sudah enggak usah.


Ini ada di Kuala Tanjung. Kemudian Tanjung Priok. Ke sana lagi, Makassar New Port. Sana lagi, yang belum di Sorong. Makassar New Port sudah bergeser seperti itu. Sorong mungkin akhir tahun ini insya Allah akan kita mulai.


Kalau tidak ada yang saya namakan tol laut itu, ya tidak akan sambung-sambung dari ujung barat menuju ke ujung timur Indonesia, tidak akan. Sekali lagi, dua per tiga Indonesia adalah air. Dua per tiga Indonesia adalah laut, adalah samudera sehingga yang tol itu tidak hanya di darat, tapi juga di laut tolnya. Tapi tolnya berbentuk kapal-kapal besar yang mondar-mandir, mondar-mandir, bukan jalan tol di tengah laut.


Kemudian kereta api juga sama. Ongkos logistik kita, biaya logistik kita, biaya transportasi kita dibandingkan Malaysia, Singapura itu 2,5 kali lipat. Problem besar kita, tidak bisa bersaing, karena biaya logistik, biaya transportasi itu 2,5 kali lipat.


Bagaimana bersaing barang-barang kita? Bagaimana bisa berkompetisi barang-barang kita kalau ini tidak kita cepat selesaikan? Baru dibangun jalur kereta api yang nanti akan menjadikan ongkos transportasi, ongkos logistik itu bisa menjadi lebih murah.


Ini jalur kereta api di Sulawesi, yang kita mulai tahun kemarin. Ini perencanaannya juga sudah berpuluh tahun. Katanya, sudah lebih dari 40 tahun perencanaannya. Ini baru kita mulai tahun kemarin.


Saya ke sana dua kali. Jalurnya sudah, memang baru satu jalur tapi, buat saya, dimulai dulu. Nanti dua jalur, berikutnya. Yang penting, dimulai lebih dahulu sehingga nanti bisa menurunkan biaya-biaya transportasi dan biaya logistik.


Kemudian bendungan. Kita lima tahun ini menargetkan membangun 49 bendungan karena air apa pun itu adalah perlu. Jangan sampai air tidak mengalir, tidak berguna sehingga dibuat 49 bendungan.


Yang paling banyak di daerah-daerah tandus, Raknamo misalnya di NTT, di NTB, kemudian di Bireun Terbau di Aceh, dan di provinsi-provinsi yang lain, di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, semuanya. Dengan ini, kita nanti bisa membangun pertanian kita, membangun perkebunan kita karena air adalah sangat penting.


Kemudian perbatasan, daerah pinggiran kita, perbatasan dengan Timor-Leste, perbatasan dengan Papua Nugini, perbatasan dengan Malaysia sama. Sekarang ini hampir semuanya dimulai. Yang namanya perbatasan, saya tidak mau ditawar lagi. Ini harus dibangun. Jalannya dibangun. Kemudian bangunan lintas batasnya dibangun.


Saya cerita sedikit. Akhir tahun 2014, saya ke NTT. Kemudian saya, dari Kupang, saya minta diantarkan ke lintas batas dengan Timor-Leste.


Apa yang saya lihat? Saat itu saya melihat di sebelah sana kantornya megah, gede. Enggak tingkat tapi gede. Kantor kita—maaf, saya harus ngomong apa adanya—seperti kantor kelurahan. Sedih saya.


Di Entikong, juga mirip-mirip seperti itu. Jalan kita hanya 5 meter. Jalan yang di sana ada kira-kira 12 meter, besar. Bangunannya juga kalah.


Saat itu saya perintah, “Sudah, saya beri waktu seminggu, diruntuhkan kantor kita ini. Yang di Entikong juga sama, runtuhkan.” “Anu, Pak, anu.” “Runtuhkan seminggu. Jangan anu-anu lagi. Runtuhkan.”


Saya perintah ke Menteri PU saat itu, “Saya minta lebih gede dari yang di sana. Di sana hanya satu tingkat, kita dua tingkat. Di sana dua tingkat, kita tiga tingkat ayo.”


Saya sudah datangi dua kali, datangi. Jangan sampai keliru. Nanti salah lagi. Sudah membangun baru, salah. Enggak mau. Saya datangi.


Ini gambarnya. Nanti akhir tahun, sudah gede sekali pos lintas kita. Jalannya yang dulu hanya 4-5 meter, sekarang 20 meter, lebih lebar dari yang di sana. Meskipun tiba-tiba tidak terus itu, sudahlah nanti 20-30 km nyempit lagi, gak apa-apa. Tapi jalan yang masuk itu harus gede karena negara kita negara besar, sehingga orang masuk ke tempat kita itu harus, “Oh Indonesia,” gitu lo.


Jangan, ketika mereka masuk, sedih kita seperti itu. Sedih betul, sedih. Bapak, Ibu, Saudara-saudara semuanya, kalau mau sedih, ya lihatlah yang sebelum dibangun. Sedih banget kita.


Ya kantornya kayak gitu, aduh. Kayak kantor kelurahan, sudah disekat-sekat itu. Ini untuk karantina. Ini untuk bea cukai. Ini untuk imigrasi. Kecil-kecil itu. Kalau saya, malu.


Akhir tahun, saya mau langsung resmikan akhir tahun ini, udah. Tapi biasanya saya kirim orang. “Benar atau tidak, lebih bagus dari yang di sana?” “Sudah, Pak.” Baru saya datang. Kalau belum, ya harus diperbaiki lagi.


Yang terakhir, seperti tadi saya sampaikan, deregulasi, paket-paket kebijakan yang terus akan kita buat untuk menyederhanakan, untuk mempersingkat, untuk mempercepat, mengikuti kecepatan perubahan dunia, perubahan global yang saat ini kecepatan perubahannya sangat cepat sekali.


Tiap detik, tiap menit, tiap hari, berubah-ubah terus dunia kita ini sehingga kita juga harus mengikuti dengan sebuah fleksibilitas yang sudah tingkat tinggi. Kecepatannya juga sama. Kalau tidak, ya kita akan ditinggal, kita akan terlibas. Ini yang terus akan kita lakukan.


Dan yang terakhir, kita sekarang ini juga kerja sama dengan Tiongkok, dengan China dalam hal pariwisata. Saya titip, nanti agar seluruh warga yang ada di sini juga ikut mengampanyekan bahwa Indonesia itu memang patut dikunjungi.


Saya bandingkan. Kayak Malaysia itu, setahun dikunjungi 24 juta turis. Thailand dikunjungi 28 juta turis. Indonesia tahun yang lalu 9,8 juta.


Padahal tempat yang indah-indah di kita ini banyak. Tapi kenapa hanya 9,8? Apa yang keliru? Apa yang salah?


Target saya tahun 2019 harus sudah di atas 20 juta, udah. Dan kita sudah tanda tangan, saya sudah tanda tangan dengan Presiden Xi Jinping tahun yang lalu. Khusus dari sini saja, target kita 10 juta.


Dan sekarang sudah kelihatan. Sekarang Manado itu mulai bulan yang lalu, itu peningkatan turisnya 1.000% karena ada direct flight dari empat provinsi di sini langsung ke Manado. Saya belum lihat perubahan Manado itu seperti apa dalam 1,5 bulan ini.


Tapi katanya, “Sekarang, Pak, orang bikin restoran banyak sekali. Orang bangun hotel banyak sekali.” Baru saya mau lihat. Orang-orang sudah melihat, ada sebuah prospek.


Dan kita sudah menentukan sepuluh destinasi wisata baru selain Bali. Ada Danau Toba, ada Morotai, ada Labuan Bajo, ada Mandalika, ada Borobudur yang akan terus kita kemas dengan baik. Kita perbaiki produknya. Kita perbaiki infrastruktur di sekitar itu.


Sudahlah, kita enggak usah banyak-banyak. Konsentrasi di sepuluh ini saja. Tapi produknya digarap, kemasannya diperbaiki, masyarakatnya disiapkan, infrastruktur disiapkan. Kemudian terakhir, kalau itu siap, promosinya akan kita gencarkan.


Kemarin kita juga ketemu Jack Ma, pendiri dan CEO Alibaba. Saya juga titip agar promosi Indonesia di Alibaba juga didorong kuat, sehingga kita harapkan target 10 juta itu khusus dari sini, untuk turis-turis betul-betul bisa kita capai.


Saya kira itu beberapa hal yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya juga minta agar seluruh warga yang masih berada di sini untuk berkontribusi, untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara dalam bentuk apa pun, baik dalam bentuk penelitian, baik dalam bentuk bisnis, dan bisnis itu juga harus bisnis yang besar, bisnis yang sedang, bisnis yang kecil.


Kemudian yang ketiga, dalam hal pembangunan IT, teknologi kita sehingga kecepatan perubahan-perubahan dunia itu betul-betul bisa kita ikuti.


Dan saya ingin bangsa kita menjadi bangsa pemenang. Kita ingin bangsa kita menjadi bangsa pemenang.


Saya kira itu yang bisa saya sampaikan. Terima kasih.


Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Selamat siang.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden