Sambutan Presiden RI pada Raker Pimpinan Kementerian L.N dan Kep. Perwakilan L.N, 4 Feb 10 di Istana

 
bagikan berita ke :

Kamis, 04 Februari 2010
Di baca 823 kali

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA ACARA

PERESMIAN PEMBUKAAN RAPAT KERJA PIMPINAN

KEMENTERIAN LUAR NEGERI DAN

KEPALA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI

ISTANA NEGARA, JAKARTA

4 FEBRUARI 2010

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, Panglima TNI,

Kepala Badan Intelijen Negara,

 

Para Pimpinan Komisi I DPR RI,

 

Para Sesepuh kita, Bapak Mochtar Kusumaatmadja, Bapak Hassan Wirajuda,

 

Para Sesepuh dan para Diplomat senior,

 

Para Duta Besar, para Konsul Jenderal, para Konsul, para Kuasa Usaha Ad Interim,

 

Hadirin sekalian yang saya hormati,

 

Pada kesempatan yang baik dan insya Allah penuh berkah ini, marilah sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena kita semua atas rahmat dan ridho-Nya masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk melanjutkan tugas dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara, utamanya di dalam memperjuangkan kepentingan nasional kita di forum dunia. Kita juga bersyukur ke hadirat Allah SWT, hari ini dapat menghadiri Pembukaan Rapat Pimpinan Jajaran Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

 

Kita telah menyimak sambutan Menteri Luar Negeri, dan saya berharap apa yang menjadi garis kebijakan Menteri Luar Negeri, yang mengalir dari kebijakan Presiden dapat Saudara-saudara laksanakan dengan baik.

 

Hadirin peserta rapat kerja yang saya cintai,

 

Hakikat misi diplomat tiada lain, kalau kita sederhanakan, ada dua. Pertama adalah memperjuangkan kepentingan nasional dengan segala turunannya, termasuk melindungi warga negara kita di tingkat dunia, di negara-negara akreditasi. Yang kedua, tiada lain memelihara dan meningkatkan hubungan baik, good relations, antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia, antara rakyat kita dengan rakyat di negara-negara di mana Bapak-Ibu bertugas. Kalau kita kaitkan, to defend our national interests, sedemikian rupa tanpa merusak, sesungguhnya, hubungan baik antara Indonesia dengan negara akreditasi. Di situ diperlukan approach, soft power misalnya. Diperlukan gaya, diperlukan seni, diperlukan kecakapan para diplomat kita untuk mencapai tujuan kembar itu.

 

Saudara-saudara,

 

Sebelum saya memberikan directions nanti kepada Saudara semua tentang misi diplomasi kita lima tahun mendatang, termasuk peran diplomat yang sama-sama kita harapkan. Saya ingin mengedepankan dua hal. Pertama adalah arah, agenda, dan prioritas pembangunan kita lima tahun mendatang, karena di situlah inti dari perjuangan Saudara di forum global. Kepentingan seperti apa yang harus didukung.

 

Setelah itu, saya akan menyampaikan kecenderungan global, isu-isu yang fundamental pada tingkat dunia, dan juga geopolitik awal abad 21 ini, geopolitics of the future, seperti apa. Karena kita membangun negeri ini, kita mengelola kehidupan bernegara, dan menjalankan pemerintahan di Indonesia dalam lingkungan global yang juga terus berubah dan berkembang, yang sangat dinamis. Oleh karena itu, diperlukan kecakapan dan kearifan kita membaca semuanya itu, baik kecenderungan maupun realitas, maupun tanda-tanda jaman yang pada saatnya juga akan menjadi new realities.

 

Saya mulai dengan pembangunan kita lima tahun mendatang. Saudara-saudara saya kira sudah mendengar di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam pidato kenegaraan saya, saya sampaikan waktu itu bahwa pembangunan nasional kita ke depan haruslah betul-betul menjadi pembangunan untuk semua, development for all. Kalau kita aplikasikan dalam bentangan waktu lima tahun mendatang, masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu II ini, saya telah menetapkan tiga pilar dari pembangunan jangka menengah itu. Yang pertama adalah pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, economy for prosperity. Yang kedua, melanjutkan konsolidasi demokrasi, melanjutkan pematangan, nurturing our democracy. Dan yang ketiga, yang tidak kalah pentingnya, sebagai konsekuensi dari development for all adalah keadilan, justice.

 

Kalau saya bisa mengelaborasi secara singkat, maka ekonomi Indonesia harus tetap tumbuh. Tanpa pertumbuhan, tidak mungkin kita mengurangi pengangguran, kita mengurangi kemiskinan. Secara konvensional, unemployment dan poverty akan berkurang manakala terjadi pertumbuhan ekonomi.

 

Tetapi belajar dari pengalaman kita di waktu yang lalu dan pengalaman negara-negara lain di dalam menjalankan pembangunan ekonomi, termasuk krisis perekonomian global yang terjadi tahun 2008 dan 2009 yang lalu Ada sesuatu yang harus kita pahami, apa yang disebut dengan pertumbuhan yang betul-betul inklusif, yang sustainable, yang strong. Kalau sekadar tumbuh tetapi tidak adil dan merata, menimbulkan persoalan lain: persoalan sosial, persoalan politik, dan bisa jadi persoalan keamanan, meskipun masih dalam rumpun justice atau keadilan. Kalau pembangunan tidak sustainable, baik untuk hari ini tapi buruk untuk hari esok, pengurasan sumber-sumber daya alam yang melebihi kepatutannya, mengancam lingkungan dunia, meningkatkan pemanasan global, mendorong perubahan iklim yang ekstrim, yang itu adalah sebetulnya jebakan pembangunan. Oleh karena itu, tetap dalam semangat menjaga dan meningkatkan pertumbuhan nasional, pertumbuhan kita haruslah tetap inklusif, adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia di daerah-daerah, di pedesaan, dan golongan masyarakat apapun. Inklusif.

 

Kemudian sustainable, tanpa harus merusak lingkungan kita, sumber-sumber kemakmuran kita, sumber daya alam kita. Kemudian strong, high growth agar benar-benar secara signifikan bisa mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Menurut teori ekonomi secara universal, dikatakan sesungguhnya pertumbuhan di atas empat persen asalkan the size of the economy itu sudah menengah ke atas, itu boleh dikatakan tinggi. Oleh karena itu, we are aiming pada tahun 2014 nanti, pertumbuhan kita bisa mencapai tujuh persen. Sesungguhnya, lima tahun yang lalu jika tidak ada krisis perekonomian global, resesi dunia yang sebelumnya juga ada krisis pangan dan krisis energi, kita bisa mencapai tujuh persen. Terkoreksi oleh discontinuities, oleh shocks yang baru saja terjadi, bersyukur kita karena pertumbuhan kita tetap positif, dan di antara anggota G-20, tiga negara yang tercatat mengalami pertumbuhan positif: pertama adalah Tiongkok, kedua adalah India, dan ketiga adalah Indonesia.

 

Dengan pengalaman, kita bisa menjaga perekonomian kita di tengah-tengah badai krisis global ini, menunjukkan bahwa kita belajar banyak dari krisis 11 tahun yang lalu. Reformasi di bidang perekonomian telah memperkuat fundamental perekonomian kita. Menghadapi krisis, kita bersatu, dan kemudian melakukan respon yang cepat dan tepat, buahnya kita dinilai oleh dunia sebagai negara yang mampu meminimalkan, minimizing the impact of the global economic crisis. Ini modal, ini capital yang tidak boleh kita abaikan untuk memastikan bahwa pembangunan perekonomian lima tahun mendatang bisa berhasil baik, bahkan lebih baik lagi.

 

Kalau kita bisa meningkatkan pertumbuhan dengan konsep growth with equity, dengan triple track strategy, yang kita adopsi selama lima tahun ini dan terus kita lanjutkan, yaitu pro poor, pro job, and pro growth strategy, maka kita berharap bahwa pertumbuhan yang kita akan dapatkan langsung bisa dialirkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Rakyat sejahtera manakala kebutuhan dasarnya makin tercukupi, pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, lingkungan, rasa aman, dan sebagainya. Jadi, pilar pertama adalah sekali lagi meningkatkan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.

 

Pilar yang kedua adalah demokrasi. Alhamdulillah, dengan reformasi yang kita jalankan, demokrasi kita makin hidup, kebebasan makin mekar, hak-hak politik rakyat makin terlindungi, dan warga negara Indonesia bisa mengekspresikan pikiran-pikiran dan pandangannya. Ini suatu capaian yang patut kita syukuri dan kita jaga.

 

Di sisi lain, agar demokrasi itu juga mendatangkan manfaat yang setinggi-tingginya bagi rakyat, tetap menjaga harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka di samping freedom atau kebebasan, diperlukan juga kepatuhan pada pranata, termasuk pranata hukum, rules, dan rules of law. Itu harus berjalan bergandengan. Dengan demikian, akan patut, akan berimbang, akan harmonis kehidupan demokrasi di negara kita.

 

Partisipasi politik rakyat kita dorong, kita menyaksikan bahwa democracy goes local, pemilihan-pemilihan kepemimpinan daerah, gubernur, bupati, dan walikota sekarang pun dilaksanakan secara langsung, sebagai wujud dari partisipasi politik dari rakyat kita. Ini juga harus kita dorong, seraya membentuk budaya politik yang baik, yang nantinya menjadi bagian dari peradaban bangsa yang unggul dan mulia, our civilization. Itu mata rantai dari bagaimana kita menjaga dan mengembangkan kehidupan demokrasi kita. Itu menjadi pilar kedua, lima tahun mendatang akan kita jalankan dengan sebaik-baiknya.

 

Pilar yang ketiga tiada lain adalah keadilan, justice. Kita ingin pembangunan itu bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat. Kita ingin sejak awal rakyat kita menjadi bagian dari pertumbuhan. Kita ingin tidak ada diskriminasi, kita harus menjunjung persamaan kesempatan, perlakuan yang adil kepada seluruh warga negara. Itu termasuk justice, tentu termasuk menegakkan hukum dan keadilan, dan hal-hal yang berkaitan dengan pranata yang baik di negeri ini. Itu adalah pilar yang ketiga.

 

Dari tiga pilar ini, kita terjemahkan dalam sejumlah prioritas, agenda, rencana aksi, yang telah kita tuangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah II 2010-2014, dan tiap tahun kita terjemahkan dalam RKP dan APBN pada tingkat nasional, dan pada tingkat daerah: RKPD dan APBD. Itulah sistem dan manajemen pemerintahan. Itulah sistem dan manajemen pembangunan.

 

Kemarin hari Selasa dan Rabu, dua hari satu malam, saya memimpin retreat, rapat kerja yang dihadiri oleh semua menteri, kemudian semua gubernur, pimpinan lembaga pemerintah non kementerian, dan pimpinan badan-badan usaha milik negara, serta Dewan Pertimbangan Presiden. Kita menyatukan langkah kita Kita mengidentifikasi isu-isu pembangunan yang memerlukan sinergi yang tinggi. Kita menentukan formula mengatasi bottlenecking, kemacetan-kemacetan. Kita memastikan bahwa semua daerah berkontribusi untuk pencapaian sasaran nasional. Sebaliknya kebijakan dan regulasi yang dikelola oleh pemerintah pusat betul-betul menjawab pula masalah-masalah yang dihadapi oleh daerah. Dengan demikian, Indonesia incorporated juga bisa diaplikasikan dalam pembangunan di negeri kita.

 

Semua pemangku hajat bersatu. Bahkan barangkali sebagian dari Saudara mengetahui, sekian hari setelah saya dilantik menjadi Presiden bersama Wakil Presiden, Boediono, untuk masa bakti 2009-2014, kita gelar rembuk nasional, temu nasional, National Summit, yang menghadirkan semua, termasuk NGO, termasuk ekonom, termasuk dunia usaha, di samping jajaran pemerintah. Sekali lagi bagaimana kita memastikan lima tahun mendatang semua aset, semua potensi bisa kita daya gunakan dengan sebaik-baiknya.

 

Saudara-saudara,

 

Itulah yang menjadi arah, katakanlah agenda dan prioritas dari pembangunan jangka menengah kita lima tahun mendatang. Nanti ada kaitannya dengan misi Saudara, peran Saudara yang saya harapkan.

 

Hadirin peserta rapat kerja yang saya cintai,

 

Berikut ini adalah bagaimana kita melihat perkembangan dunia. Saya yakin, Saudara telah amat memahami karena wilayah tugas Saudara pada masyarakat dunia. Namun saya ingin mengambil intisarinya dan apa yang ingin saya sampaikan itu kurang lebih 10 hari yang lalu telah saya sampaikan di hadapan rapat pimpinan TNI, kepada para jenderal, laksamana, dan marsekal juga saya sampaikan penglihatan tentang perkembangan dunia ini, termasuk geopolitik awal abad 21 karena Departemen Pertahanan dan TNI juga memiliki tugas untuk melakukan strategic assessment yang nantinya akan dirumuskan dalam strategi pertahanan negara kita.

 

Saudara-saudara,

 

Kita tahu dunia kini berada dalam boleh sistem, boleh tatanan yang bersifat multipolar. Orang mengatakan, teringat pada abad pertengahan, abad ke-15, ke-16, dulu ketika masih berkecamuk perang dingin, dunia berada dalam dua kutub meskipun ada Gerakan Non Blok. Setelah Tembok Berlin runtuh, seolah-olah yang menang Barat dan hanya ada satu superpower, Amerika Serikat. Setelah ada peristiwa 11 September tahun 2001, konfigurasi berubah lagi. Dan ketika terjadi krisis perekonomian global yang baru saja terjadi, kita melihat tatanan baru, arsitektur baru, dan dinamika baru dalam hubungan antar bangsa.

 

Dari player's analysis dalam hubungan internasional kita, dikatakan sekarang, sepertinya dunia memiliki tiga kutub. Satu, Amerika --boleh dikatakan Amerika Utara. Dua, Eropa yang dipelopori oleh Uni Eropa. Dan ketiga, Asia, di mana di samping Jepang, Tiongkok memiliki posisi dan peran yang mengemuka, begitu. Dan pertemuan G-20 yang saya ikuti, termasuk pertemuan-pertemuan puncak lainnya selama ini, juga telah mengintip bakal munculnya Asia sebagai pilar baru di samping dua pilar yang sudah ada, Eropa dan Amerika.

 

Ada juga yang mengatakan, "Oh, tidak cukup dengan itu, jangan dilupakan ada emerging economies, ada emerging countries yang disebut dengan BRIT." Ada, saya mulai dari Tiongkok, India, Brazil, Rusia masuk di situ. Kemudian, konon katanya, ada South Africa, konon katanya ada Meksiko, konon katanya Indonesia sudah mulai dikategorikan sebagai adik dari emerging economies. Ada lagi yang mengatakan, "Oh, tidak cukup hanya itu. Lihat posisi Timur Tengah, sekarang dengan petrodollar-nya." Dengan melihat bahwa salah satu isu global sekarang ini adalah boleh dikatakan clash atau dari cara pandang yang lain, harmony among civilization, peran negara Timur Tengah, peran negara-negara Islam jangan diabaikan.

 

Tetapi ada juga yang punya pikiran, dunia itu akhirnya nanti hanya ada dua, G-2, the US dan China. Begitu konon katanya. Tetapi yang penting, marilah kita pahami bahwa dunia kini seolah kembali dalam tatanan multipolar. Oleh karena itu, our choice untuk mengembangkan politik luar negeri yang bebas dan aktif dalam bentuk all-directions foreign policy itu ternyata cocok. Dikatakan oleh Menlu, a million friends atau thousands friends, zero enemy, itu juga connected to that, bagaimana kita memperjuangkan our interests di tengah dunia dengan sifat kemultikutubannya itu.

 

Dalam tatanan seperti itu, meskipun never ending goals untuk membangun satu arsitektur dunia yang sungguh aman, adil, dan membangun, dan mendatangkan kesejahteraan bagi semua bangsa. Kita kini mengenali sejumlah isu, tantangan, dan peluang, baik untuk masa kini dan masa depan.

 

Saya ingin mengedepankan enam the challenges, issues, bisa dikatakan threats, tapi bisa juga dikatakan opportunities, bagaimana kita memandangnya. Dan sikap mental yang harus kita ubah Saudara-saudara, sebelum saya lupa untuk mengingatkan, janganlah kita ini melihat segalanya dari kacamata, "Wah, ini bahaya. Wah, ini dangerous. Wah, ini ancaman. Wah, ini kendala." Kalau sudah begitu, ya memang semuanya jadi sulit. Tetapi kalau from the beginning melihat sesuatu itu ada threat, ada opportunity, ada tantangan, ada peluang, maka cerdas kita. Skillful kita, arif kita. Di satu sisi menahan yang tidak baik, yang buruk-buruk, yang itu tantangan, tapi on the other hand, kita betul-betul bisa menjadikan itu opportunity, bisa mengalirkan sumber-sumber kemajuan dan kemakmuran untuk negara kita dari arena global, dari situasi globalisasi.

 

Kembali kepada isu enam, isu tantangan dan peluang tadi, pertama adalah masih berkaitan dengan international peace and security, terutama situasi keamanan di Timur Tengah. Memang, selama situasi di Palestina, di Lebanon, di Irak, di Afganistan, dan belakangan di Pakistan masih seperti ini. Tidak boleh kita mengatakan bahwa international peace and security menjadi makin baik. On the contrary, dan di sinilah sebetulnya masih banyak sekali kejahatan-kejahatan terorisme yang bersumber dari kondisi yang ada di Timur Tengah sekarang ini.

 

Yang kedua adalah isu yang kita munculkan meskipun kita tidak percaya pada tesis Huntington, profesor dari Harvard, almarhum. Saya bertemu dengan sahabatnya kemarin, Profesor Nay yang mengarang buku Soft Power itu. Saya berdiskusi di sana, tetapi kenyataannya memang hubungan antar peradaban, antar agama ini tidak boleh take it for granted. Ini bisa menjadi sumber masalah yang fundamental dan permanen, we have to understand. Semangat kita adalah bagaimana membikin harmony among civilization. Tapi bacalah bahwa ada memang benturan antar peradaban untuk kita cegah makin mengembang, untuk kita hentikan, untuk kita kelola dengan sebaik-baiknya. Jadi isu atau fenomena kedua adalah masih kita rasakan yang disebut clash of civilization.

 

Yang ketiga, sumber konflik sekarang tidak lagi bersifat ideologis, seperti dulu komunis dengan kapitalis, dan beragam ideologi yang hidup di dunia ini, tetapi justru bergeser dan makin bergeser. Kita mengenali ternyata karena 6,7 miliar penduduk bumi memerlukan sumber-sumber food, energy, and water, maka di waktu yang akan datang akan banyak gesekan kepentingan nasional dari semua negara, dalam akses dan kepemilikan sumber-sumber itu. Sekali lagi, food, energy, water yang saya sebut dengan FEW, maka FEW security menjadi salah satu isu penting pada tingkat global.

 

Saudara-saudara,

 

Yang keempat adalah sepertinya tidak ada masalah, tapi there is a problem, misalnya yang berkaitan dengan global economy. Kita ingin ke depan, ekonomi global itu more balanced, tidak terlalu banyak mismatch, supply dengan demand. Tidak terjadi mismatch dalam international trade and investmentmore sustainable. Ini juga akan kita hadapi. Dari krisis yang terjadi kemarin, banyak sekali pelajaran yang kita petik, apakah yang berkaitan dengan global financial architecture, bagaimana peran dari Bretton Wood Institute, apakah masih cocok IMF, World Bank, WTO. Kalau tidak kita lakukan reformasi, apakah aman Tiongkok yang memproduksi barang besar-besaran dijual ke seluruh dunia, kemudian Amerika Serikatnya mengkonsumsi begitu banyak keperluan di luar apa yang bisa dia produksi, dan mismatch yang lain seperti itu. Dan kemudian kita sadar, krisis demi krisis yang terjadi, we need new architecture, we need new order. Semua masih in the making, tapi setidak-tidaknya kita bersyukur Indonesia part dari bagian untuk menyusun arsitektur dan tatanan perekonomian global yang baru. dan sebagainya, dan

 

Yang kelima adalah jangan dilupakan epidemi atau penyakit-penyakit yang menular, communicable diseases, apakah flu, swine flu, bird flu, apakah HIV/AIDS, apakah malaria, dan segala macam. Indonesia juga mengalami masalah-masalah seperti itu. Ingat, perang yang terjadi di satu negara, korbannya mungkin ratusan, mungkin ribuan, mungkin puluhan ribu. Tetapi, penyakit menular, wabah dunia itu bisa jutaan. Sebelum Perang Dunia II dulu, Eropa kena flu, dikatakan lebih dari 20 juta yang meninggal. Ini jangan main-main dengan communicable diseases.

 

Yang keenam atau yang terakhir, yang menjadi favorit kita semua sekarang, climate change. Tidak perlu saya uraikan, semua sudah mengetahui. Lagi-lagi disaster, apakah karena peristiwa alam yang tidak directly connected to global warming seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, or disasters yang connected to perubahan iklim, itu topan badai, kekeringan, banjir, dan segala macam. Korbannya bisa berlipat ganda dibandingkan peperangan konvensional. Haiti ratusan ribu. Tsunami di Aceh ratusan ribu. Oleh karena itu, terhadap yang sifatnya bencana alam, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, kita hanya bisa membikin bangsa Indonesia siap, dunia siap menghadapi seperti itu.

 

Tetapi yang berkaitan dengan iklim global, harus ada gerakan global from now on. Tidak harus menunggu protokol demi protokol yang sangat berat untuk disepakati pada tingkat global. Harus kita mulai dari sekarang bagaimana to stop, to reverse yang disebut dengan global warming, not to exceed dua derajat celsius pada tahun 2050. Ini adalah urusan climate change.

 

Setelah saya gambarkan pembangunan kita lima tahun mendatang dengan tiga pilar tadi, economy for prosperity, democracy, and justice, kita punya enam isu, tren, fenomena pada tingkat global. Mari kita berpikir bagaimana kita memperjuangkan kepentingan nasional kita demi pembangunan bangsa yang saya sebutkan tadi, dalam lingkungan yang terus berubah dengan ciri-ciri dan isu-isu yang seperti itu. Itulah the nature of our nation, the nature of your nation sebagai diplomat.

 

Untuk lebih konkret, karena benar yang disampaikan oleh Menlu, diplomat harus hands on. Jangan seperti mandor, jangan seperti majikan. Harus hands on. Saya meskipun sebagai top decision maker, top policy maker, tetapi dalam banyak hal saya juga hands on seperti menteri juga. Diperlukan dalam dinamika masa kini yang begitu cepat dan tinggi untuk kita bisa involve langsung, mengintervensi langsung dan hands on, apalagi tugas-tugas diplomasi. Oleh karena itu, saya ingin --ini boleh dicatat-- oleh-oleh kembali ke negara akreditasi masing-masing nanti, ada 8 misi.

 

Pertama, sukseskan pembangunan lima tahun mendatang dalam upaya meningkatkan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Saudara tahu bahwa untuk mencapai tujuh persen growth pada tahun 2014, diperlukan investasi besar-besaran untuk segala macam kepentingan, misalnya infrastructure building, industri, agriculture. Segala macam. Rata-rata tiap tahun kita perlukan Rp 2.000 triliun, USD 200 billion annually yang bisa kita mobilisasi dari sumber-sumber dalam negeri, apakah government ataupun private. Tetapi setelah kita hitung, totalitas dari kemampuan atau sumber-sumber investasi dalam negeri tidak lebih dari separuh. It means, kita harus menggandeng sahabat dan mitra kita, our partners, dari negara-negara sahabat untuk mengisi yang separuhnya, tentu dalam terms of reference yang sungguh membawa manfaat bagi bangsa dan negara kita. Sumbernya dari negara manapun, bisa dari Timur Tengah, bisa dari Tiongkok, bisa dari Jepang, bisa dari Eropa, bisa dari Amerika, bisa dari Australia. Saya minta Saudara aktif dan pro aktif untuk mendapatkan sumber-sumber investasi itu.

 

Yang kedua, trade. Trade itu adalah komponen dari growth. Trade itu memberi ruang untuk kita bisa mengekspor barang-barang kita, agar hidup industri, dan pertanian, dan jasa kita. Akan lebih banyak lagi employment yang bisa diangkat karena kita bisa memproduksi barang-barang dan laku dijual, trade. Meskipun kita juga membangun intra state trade.

 

Tentu ada yang diimpor ke negara kita, negara lain juga ingin menjual barang-barangnya. Di sini kita harus cerdas, kalau negara lain ingin memasok barang-barangnya ke Indonesia atas nama economic cooperation, economic integration di sesama ASEAN, free trade di antara ASEAN dengan mitra-mitra dagangnya, mitra-mitra perekonomiannya, kecerdasan kita untuk mendapatkan pasar-pasar baru. Syukur-syukur yang bisa sustainable di negara-negara sahabat. Bantu pemerintah pusat, bantu Menteri Perdagangan untuk bisa mendapatkan opportunity seperti itu.

 

Yang tidak kalah pentingnya, pariwisata. Pariwisata itu menurut saya masih banyak opportunitynational revenue. Saya berharap Saudara juga melakukan promosi-promosi berkelanjutan, tidak cukup sekali-dua kali, tidak cukup dengan ada pameran sekali-dua kali, sepanjang masa. Lakukan semuanya itu. Paling tidak, itu tiga contoh: trade, investment, tourism. Kalau itu bisa dijalankan, pasti memberikan kontribusi pada misi kita untuk menyukseskan pembangunan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. yang dapat kita ambil untuk meningkatkan kontribusi, pariwisata dalam

 

Yang kedua adalah solusi untuk Timur Tengah. Ini berkaitan dengan international peace and security, ada kaitannya dengan masih berlangsungnya aksi-aksi terorisme. Saya ingin diplomat kita, terutama yang berada di negara-negara yang bisa melakukan sesuatu, to find a real solution untuk Timur Tengah. Lakukanlah kontribusi itu. Pada tingkat saya, saya pun juga aktif melakukan upaya itu, Indonesia punya kepentingan apabila Timur Tengah bisa selesai, dan tidak menjadi ancaman dan gangguan keamanan seperti sekarang ini. Saya juga menjalin komunikasi dengan berbagai banyak kepala negara, kepala pemerintahan, termasuk Presiden Obama. Saya mendiskusikan bagaimana sebetulnya solusi Timur Tengah, karena dalam pikiran saya, perang di Irak, perang di Afganistan harus berakhir. Sooner or later harus berakhir, karena itu menjadi sumber masalah dari masalah-masalah yang lain.

 

Kita harus cerdas sesuai dengan konstitusi kita, sesuai dengan kepentingan kita, kita harus cerdas. Bayangkan, berapa ribu boat people yang mengalir dari Timur Tengah yang menjadi masalah sosial, masalah ekonomi, masalah politik kadang-kadang, masalah diplomasi kita dengan negara lain karena situasi yang ada di Timur Tengah. Saya ingin Saudara-saudara yang berada di negara yang punya kaitan dengan finding solutions, realistic, just, dan kemudian sustain solutions, itu sangat diperlukan.

 

Yang ketiga, yang tadi, Saudara saya minta juga berkontribusi untuk betul-betul Indonesia berperan secara aktif dalam menyelenggarakan dialog antar peradaban, dialog antar agama, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Aktif, jangan pasif, di manapun di negara-negara akreditasi ataupun di forum-forum yang lain, aktiflah untuk itu. Persahabatan saya dengan banyak pemimpin dunia, mereka mengatakan Indonesia pada posisi yang baik. Indonesia dalam persepsi mereka adalah negara yang berhasil dalam demokratisasinya, berhasil dalam reformasinya. Ekonominya makin baik. Lantas dianggap moderat, bisa berperan dalam banyak sekali forum internasional. Oleh karena itu, mereka mengatakan, Indonesia is in a better position dibandingkan negara lain, to be part of dialogue among civilization, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Saya kira itu misi kita dan saya minta Saudara aktif semuanya.

 

Yang keempat, Saudara harus berkontribusi untuk betul-betul meningkatkan food, energy, and water security di negara kita. Kita kenal green energy. Green energy memerlukan teknologi, memerlukan research and development, memerlukan kerjasama. Ajak kalau ada partner yang ada di negara akreditasi untuk bekerja sama dengan Indonesia di dalam membangun green energy. Demikian juga untuk pangan, kita memerlukan produktivitas yang lebih tinggi. Ini bisa dijamin kalau research and development and innovation juga bagus. Banyak negara-negara akreditasi yang memiliki kemampuan seperti ini. Ajak, gandeng, dorong untuk membangun kerja sama dan kemitraan dengan Indonesia.

 

Yang kelima, berkaitan dengan global economy tadi, dengan beberapa koreksi-koreksi yang boleh kita katakan untuk membikin lebih baiknya perekonomian global di masa mendatang, Saudara juga harus bisa berkontribusi. Dalam tatanan dunia sekarang ini, economic cooperation itu tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, sekali lagi berkontribusilah agar kita bisa menjalin kerja sama ekonomi dengan negara manapun, membawa manfaat nyata bagi bangsa kita. Dan pandai-pandailah mengintip, mendapatkan kalau bisa menciptakan opportunity. Itu yang kelima.

 

Tugas yang keenam adalah dalam rangka menghadapi communicable diseases tadi, intinya juga kerja sama, research and development, dan bermacam-macam kerja sama ini, kita punya kewajiban moral untuk dengan serius memerangi berkembangnya HIV/AIDS, termasuk malaria di Papua atau di tempat-tempat lain. Dengan demikian, saya berharap Saudara juga cerdas dan cakap menjalin komunikasi untuk menghadapi ancaman ini.

 

Yang ketujuh, climate change. Sudah lahir Copenhagen Accord, saya sendiri berada di sana. Saya ikut aktif mengintervensi, terutama dalam pertemuan 26 pimpinan. Di situ ada Obama, di situ ada Gordon Brown, di situ ada Kevin Rudd, di situ ada Lula, di situ ada Sarkozy, di situ ada Merkel, di situ ada Hatoyama, Manmohan Singh tidak hadir dalam diskusi itu. Meskipun Wen Jiabao ada di Kopenhagen, tapi tidak hadir di situ. Dari 26 yang menghasilkan Copenhagen Accord itu, kita bisa memasukkan satu poin yang sangat penting, yang itu juga saya sampaikan dalam pidato terbuka pada saat debate, yaitu atau yang semula ada satu pasal yang menggigit untuk meminta negara-negara yang punya hutan hujan tropis melakukan sesuatu agar itu bisa diselamatkan, dilestarikan, dan sebagainya. Banyak sekali ''what''-nya, satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Tapi tidak ada. Lantas apa insentifnya? Apa yang bisa dunia berikan kepada negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis itu? Maka, atas kontribusi kita, masuklah di situ satu nafas, satu pasal bahwa kepada itu to be given economic assistance dalam bentuk a, b, c d, e, f. Nah, poin saya adalah itu perjuangan kita. Itu intervensi langsung saya. Pandai-pandailah mengalirkan bantuan global untuk membantu kita mengatasi climate change. Kita telah menetapkan target to reduce our emission by 26 percent by 2020. Kita gunakan sumber daya kita, terutama APBN. Cukup sih cukup, tapi much much betterinternational assistance untuk itu semua. Sudah ada komitmen dengan Jepang, dengan Australia, dengan Norwegia, dan beberapa negara lain. Tolong dicari opportunity ini. Dengan demikian, karena ini kesepakatan global, ini Copenhagen Accord, yang kita sendiri yang berjuang dan adopted sepenuhnya, maka saya minta Saudara juga menjadi pejuang-pejuang untuk mendapatkan sumber, agar kita punya vitamin tambahan di luar resources kita, di luar APBN kita, mengatasi climate change di negara kita. kalau ada

 

Yang kedelapan atau yang terakhir, sama dengan hakikat tugas Saudara, diperkuat hubungan baik. Jangan tidak ada pengaruhnya. Jangan Saudara 3-4 tahun di sana seperti tidak ada tambahan makin baiknya, makin dekatnya, makin kuatnya hubungan di antara Indonesia dengan negara-negara itu. Apalagi dalam lima tahun terakhir, kita telah membangun yang disebut dengan strategic partnership atau comprehensive partnership dengan banyak negara. Kalau sudah begitu, saya minta perlakuan kita berbeda, jangan sampai sama saja. Kita sudah menjadi strategic partner, persoalannya, kok tidak lebih hangat, malah lebih dingin, keliru. Saya berharap Saudara pandai menggunakan opportunity, luxury, semuanya diabdikan untuk kepentingan nasional kita dengan cara-cara yang baik, dengan makin bagusnya hubungan itu.

 

Dari semuanya itu Saudara, delapan misi itu, maka akhirnya apa peran khusus diplomat di samping yang sudah diatur dalam Konvensi Wina dan semua yang menjadi rujukan Saudara. Saya hanya empat saja yang saya titipkan, titip betul. Tetapi begini, sebelum empat ini, saya ingin cerita sedikit yang ada kaitannya dengan mengapa saya sungguh berharap diplomat Indonesia tetap unggul dan makin unggul, tidak kalah dengan para diplomat senior yang telah berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara kita.

 

Boleh cerita dua hal, kalau Saudara mengujungi Markas Besar Tentara Nasional Indonesia di Cilangkap sekarang, begitu masuk pintu gerbang, di tempatnya Jenderal Djoko ini, beberapa jarak akan ketemu tiga monumen yang bersebelahan, yaitu Monumen Trikora, Monumen Dwikora, dan Monumen Seroja. Silakan masuk di situ, bagus saya kira. Kalau Monumen Seroja, karena saya juga salah satu pelaku sejarah, lima tahun saya bertugas di Timor-Timur, tiga kali penugasan, itu akan kelihatan nama-nama prajurit yang gugur. Banyak sekali, satuan-satuan, pangkat, kapan gugurnya, banyak sekali itu. Kurang lebih Trikora dan Dwikora yang ditampilkan juga apa yang dilakukan negara dan bangsa ini pada penggal waktu itu yang kemudian ada operasi militer atau perang, yang disebut dengan Trikora, Dwikora, dan Seroja.

 

Pesan yang ingin saya sampaikan dan sudah saya sampaikan kepada para jenderal, laksamana, dan marsekal waktu itu, Saudara tahu war is the continuation of politics by other means, perang sesungguhnya jalan terakhir yang harus ditempuh kalau tidak ada cara yang lain. Jadi mencegah perang itu sangat penting sebenarnya. War is very costly in terms of lives, sumber daya, anggaran, segala macam. Belum citra dunia terhadap negara yang gemar melakukan peperangan, dikit-dikit perang, dikit-dikit menyerang. Kalau kita bisa bicara pencegahan, kita bicara diplomasi, sebenarnya, bicara politik. Oleh karena itu, ada dua orang yang punya tanggung jawab yang luar biasa, yaitu para politisi dan yang kedua adalah para pemimpin militer.

 

Para politisi dalam konteks ini, apalagi kalau Saudara membaca Undang-Undang Dasar 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan, maka perang itu ditentukan oleh pemimpin politik, who are elected by the people. Siapa itu? Presiden dan kemudian DPR. Jadi di tangan Presiden dan di tangan DPR itulah keputusan politik tentang perang diambil, bukan di tangan para jenderal, laksamana, dan marsekal.

 

Dalam keadaan darurat, presiden bisa mengerahkan kekuatan militer, tapi dalam 2 X 24 jam harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Kalau tidak darurat, ya diproses. Nah, di sini, keputusan politik tidak boleh keliru. Tidak boleh, "Yang penting kita ini berani, yang penting hantam, yang penting ganyang." Tunggu dulu, apakah keputusan politik itu benar, apakah betul-betul untuk kepentingan bangsa atau hanya untuk popularitas dari pemimpin politik itu biar dianggap hebat, biar dianggap punya nasionalisme yang tinggi, dan sebagainya.

 

Think of. Begitu keputusan itu diambil, itu seperti jarum jam, akan berjalan terus itu sampai akhir, akhirnya bisa gencatan senjata, bisa apapun. Itu very crucial moment, decision making. Once itu diambil, maka tidak ada kata lain bagi pimpinan militer, "Yes, Sir," meskipun dalam proses pengambilan keputusan, Presiden mendengarkan pandangan dan saran dari pimpinan militer, dari Menteri Pertahanan, dari pimpinan TNI kalau di negeri kita, dan pihak-pihak yang kita anggap patut saya dengarkan pandangan dan pendapatnya, tetapi ketika itu diambil, maka dijalankan.

 

Kalau ada salah keputusan tentang perang, bukan salahnya jenderal, laksamana, marsekal. Kesalahan para pemimpin politik. Mengapa? Dia diberikan wewenang yang begitu besar dan penting, because they are elected by the people, yang ngasih mandat rakyat lewat elections. The people's power itu ya elections itu. Kalau kemarin, alhamdulillah, saya dapat 73.800.000 suara, tertinggi di dunia di antara pemimpin yang elected directly by the people, ya itulah mandat yang saya terima. Kalau anggota DPR yang terpilih karena dalam pemilunya dapat suara, itu juga dari rakyat. Oleh karena itu, rakyat mengatakan, "Anda saya berikan mandat to make decisions." Tetapi ingat, meskipun the power is upon us, para politisi, tetapi tidak boleh keliru dalam mengambil keputusan.

 

Kembali kepada pemimpin TNI, atas keputusan itu dikembangkanlah strategi, taktik, mengaplikasikan doktrin, menggunakan sistem senjata, memimpin dengan komando dan pengendalian yang baik, meskipun kalau salah dengan keputusan politik bukan tangung jawab mereka, para pemimpin TNI. Kalau ada kesalahan taktik, strategi, performance pertempuran yang rendah, mereka bertanggung jawab, apalagi ada kejahatan-kejahatan perang, mereka bertanggung jawab.

 

Saya hanya ingin mengatakan, diplomat, diplomasi bagian penting dari mata rantai semuanya ini. Kalau kita bisa mencegah perang, tetap to defend our interests, itu akan jauh lebih baik. Kecuali tidak ada cara lain, we have to do what we have to do untuk menjaga kedaulatan kita dan teritori kita. Itu sangat gamblang. Yang kedua, jadi bisa direnungkan bahwa para diplomat menjadi bagian dari mata rantai pengambilan keputusan ini.

 

Yang ketiga, Saudara-saudara yang pernah datang ke Yogyakarta, ada monumen namanya Monumen Yogya Kembali. Itu favorit saya untuk mengenang kembali peristiwa bagaimana kita mempertahankan kemerdekaan kita, setelah diproklamasikan tidak mulus, cuacanya buruk, sangat dinamis waktu itu, hampir pecah, hampir collapse negara kita, tetapi selamat. Apa yang bikin selamat? Banyak analisis, banyak cerita tentang itu, tetapi sesungguhnya sebagaimana yang ada di Monumen Yogya Kembali, setelah Saudara berjalan melingkar begitu, sampai di puncak akan ada melihat seperti perimbangan saya ini, inilah paduan antara war, diplomacy, paduan antara cara-cara politik dan cara-cara militer. Siapa waktu itu, saya boleh menyebut nama, Bung Karno, Bung Hatta, dan saya boleh menyebut nama Panglima Besar Jenderal Soedirman.

 

Itu contoh bahwa tidak boleh ada jarak, tidak boleh ada dikotomi antara semuanya itu. Saudara pernah mendengar kata-kata bijak, "Perang terlalu penting untuk --pakai "hanya" ya, diserahkan kepada para jenderal.` Militer juga begitu, perang juga terlalu penting atau keputusan politik, juga terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada politisi.'' Oleh karena itulah, jalinan mata rantai ini menjadi penting berkaitan dengan war and diplomacy.

 

Dengan gambaran itu, dengan visualisasi itu, Saudara-saudara, maka pertama, peran khusus Saudara yang saya minta ada empat. Pertama, jadilah lobbyist yang unggul. Lobi, lobi itu lebih banyak art, lebih banyak skills dibandingkan ilmu. Lakukan lobi. Biasanya kalau formal track diplomacy, ya formal. Kadang-kadang tidak langsung tembus, tapi dengan second track diplomacy, dengan lobi, itu sering lebih efektif. Jadilah lobbyist yang sejati. Jangan dilobi, dan kemudian malah rugi kita.

 

Yang kedua, Saudara harus juga menjadi intelligence analyst yang baik. Kalau kirim laporan, jangan media report, jangan yang sudah tahu saya, jangan yang Menlu juga bisa mengikuti, di CNN ada, di BBC ada, di CNBC ada, di Skynews ada, di Bloomberg ada, di Euronews ada, di RT Russian Television sering sekali lewat, Channel 355 kalau Indovision itu. Itu semua saya bisa mengikuti. Tetapi your analysis, urusan Timur Tengah, urusan investasi, urusan trade, urusan segala macamnya, epidemi. Your analysis, supaya kami jaga-jaga, supaya kita aware dan melakukan langkah-langkah untuk antisipasi. Ini kalau saya baca, "Wah ini sudah saya baca tiga hari yang lalu ini. Sudah saya ikuti seminggu yang lalu lewat televisi dunia." Tentu tidak bagus, ada perangkat di situ, ada Athan, ada political consul, saya kira perangkatnya cukup, ekonominya juga ada, segala macam. Jadi, intelligence analyst, jangan media reporter --sudah ada media reporter di sebelah kanan Bapak-Ibu. Mereka yang menyuguhkan yang namanya media report.

 

Yang ketiga, peran Saudara opportunity seeker, pencari peluang. Kalau bisa, malah menciptakan peluang, bikin sesuatu sehingga dapat. Saya kalau berkunjung ke negara manapun, kadang-kadang transit entah di Dubai, entah di Vancouver, entah di Tokyo, saya bertemu dubes dari manapun, saya ingin tanya, opportunity apa yang kita dapatkan? Apa begitu? Termasuk bagaimana kita bisa masukkan barang kita ke situ, investasi apa yang bisa kita alirkan, termasuk bagaimana perlindungan tenaga kerja kita, TKI kita, protected tapi juga dibantu, sambil mencari pasar baru, terutama yang skilled labour. Saya suka itu. Jangan sampai saya transit satu jam, 40 menit habis untuk cerita, "Wah ini bagus Pak, kota ini bagus." Ya oke tiga menit saja, kota itu bagus, ini bagus, ini maju, yang lainnya apa? Yang kita dapatkan apa dengan diplomasi dan misi Saudara di sana.

 

Yang keempat, yang tidak kalah pentingnya, you are all harus menjadi image builder. Banyak sekali mispersepsi tentang negara kita. Kemarin saya di luar negeri, di Boston, Saudara tahu saya memberikan pidato di Harvard untuk menjawab pidatonya Obama. Presiden Obama berpidato di Kairo, yang berjudul The Beginning Of A New Era, antara Barat dan Islam, antara civilizations. Saya balas di Harvard, dan beliau juga saya kirimi teksnya --saya dapat teksnya Obama-- saya beri judul Reinvent A New World. Bagaimana negara-negara yang berbeda civilization-nya, Barat, Timur, Islam itu belajar berdampingan secara damai, belajar mengatasi masalah secara damai, dan belajar bersama-sama berkontribusi untuk dunianya, untuk melawan tesis Huntington, Clash Of Civilization, dan misi ini penting. Saya juga berharap Saudara luruskan yang bengkok tentang Indonesia.

 

Dan di situ, di Boston saya ketemu John Kerry yang juga mengatakan Indonesia itu the least understood country. Banyak sekali pemimpin dunia begitu ketemu saya itu, misalkan ngobrol, sepertinya serba baru. Itu karena distorsi, karena bias, karena memang kita pernah susah 11 tahun yang lalu, karena krisis, karena konflik horisontal, karena macam-macamlah gitu. Tapi itu belongs to the bridge behind us. New Indonesia, meskipun masih banyak tantangan, masih banyak homeworks, tetapi we are progressing well, we are moving in the right direction. Ceritakan, jangan terlalu gede ceritanya, malah nggak percaya nanti. Yang fakta saja, tell the truth, sampaikan fakta, ini yang kami capai, alhamdulillah. Ini belum, ini masih perjuangan, memberantas korupsi masih terus kita, tetapi ini berubah, ini bagus, ini bagus.

 

Tidak kebetulan Indonesia diundang dalam pertemuan G-8, tidak kebetulan Indonesia menjadi enhanced partner of OECD, bukan begitu saja Indonesia dimasukkan dalam G-20 dan menjadi pemeran aktif. Saya kira itu adalah kerja keras kita semua, seluruh rakyat Indonesia pada tahun-tahun terakhir, dan ini harus kita jaga, kita jadikan capital. Oleh karena itu, tidak rela kalau citra, persepsi tentang kita ini tidak benar. You are responsible to betul-betul clarify everything yang salah. Jadilah image builders yang bagus.

 

Saudara-saudara,

 

Saya kira sudah selesai tugas saya, menceritakan tentang lima tahun pembangunan di Indonesia, menceritakan tentang dunia kita, misi Saudara dan peran khusus Saudara. Oleh karena itu, akhirnya dengan terlebih dahulu memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dan seraya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Rapat Pimpinan Kementerian Luar Negeri Indonesia Tahun 2010 dengan resmi saya nyatakan dibuka.

 

Sekian.

 

Wassalam'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 

 

 

Biro Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,

Sekretariat Negara RI