Serap Aspirasi Serikat Buruh dan Pekerja, Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja Gelar FGD di Makassar

 
bagikan berita ke :

Jumat, 14 Oktober 2022
Di baca 1480 kali

Dalam proses penyempurnaan dan implementasi UU Cipta Kerja membutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif, guna mencapai kesepahaman bersama atas pentingnya UU Cipta Kerja. Harapannya hal tersebut dapat menjadi langkah besar dalam proses pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja, kemudahan berusaha, hingga peningkatan investasi.

Berbagai elemen masyarakat turut dilibatkan dalam jaring aspirasi dan sosialisasi UU Cipta Kerja ini, antara lain Pemerintah Daerah, pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Koperasi, Akademisi, hingga Pekerja. Hal tersebut dilakukan guna membangun optimisme dalam mencari solusi bersama untuk meneyempurnakan UU Cipta Kerja.

Salah satu langkah yang diambil oleh Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja adalah melakukan kegiatan serap aspirasi klaster ketenagakerjaan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Jumat (14/10) di Makassar, Sulawesi Selatan. Melalui kegiatan ini harapannya klaster ketenagakerjaan dapat mendiskusikan berbagai hal yang substansif dan material terkait UU Cipta Kerja, semoga diskusi ini berbuah solusi bersama untuk Indonesia kedepannya sebagaimana disampaikan oleh Arif Budimanta, Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja dalam sambutan pembukanya.

Sebagai pemantik diskusi, Arif Budisusilo, Anggota Pokja Strategi Sosialisasi, Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja menegaskan bahwa beberapa permasalahan yang menjadi isu menonjol dalam kegiatan jaring aspirasi yang telah dilakukan sebelumnya seperti bagaimana mendorong pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh dan pekerja melalui penyesuaian UMK, salih daya pekerja, hingga bagaimana meningkatkan  keterampilan para buruh.

“Pertemuan kita hari ini menjadi sarana untuk kita membangun dialog yang konstruktif dan memperluas pandangan kita akan adanya perbuahan-perubahan kebijakan dalam UU Cipta Kerja,” ujar Arif yang sehari-harinya sebagai  Presiden Direktur Solopos Media Group.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Arif Budisusilo, Adriani, SE. MA., Dir. Bina Mediator Hubungan Industrial sebagai salah satu narasumber yang hadir langsung ditempat kegiatan menyampaikan bahwa melalui serap aspirasi dan sosialisasi hari ini para pekerja dapat mendiskusikan berbagai hal seputar UU Cipta Kerja, seperti PP

No. 35 Tahun 2021 yang mengatur jumlah pesangon, PP No. 36 Tahun 2021 tentang upah pekerja, dan PP No. 37 Tahun 2021 tentang jaminan kehilangan pekerjaan. Walaupun aturan sudah berlaku, namun tetap butuh masukan untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja ini.

Peserta serap aspirasi yang hadir pada hari ini lebih dari 25 orang yang terdiri dari beberapa serikat pekerja, misalnya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI). Arif Budi Susilo, Anggota Pokja Strategi Sosialisasi Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja berkesempatan untuk memandu kegiatan serap aspirasi dan sosialisasi UU Cipta Kerja kali ini.

Penanya pertama Abdul Muis, perwakilan dari KSPSI menyampaikan bahwa pada awal pembentukan UU saat sosialisasi naskah dinas akan mengakomodir hal-hal yang tidak diatur pada UU Ketenagakerjaan. Mulanya pemerintah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja ini tidak akan merugikan kaum buruh, tapi nyatanya  justru sebaliknya. Selain itu Abdul Muis juga menyampaikan bahwa 2 pemerintah perlu meninjau variabel penyusun upah yang sebelumnya telah diatur di dalam PP 78 tahun 2015 (Jo Pasal 44, Poin 2) dimana terdapat variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam menyusun upah pekerja ke dalam PP No. 36 Tahun 2021.

Selanjutnya, Kurniawan, perwakilan dari KSBSI Kota Makassar menyampaikan bahwa pekerja UU Cipta Kerja ini hanya berpihak pada kepentingan pengusaha saja, hak-hak pekerja terdegradasi dan dikebiri. Misalnya pada ketentuan masa kontrak dari tiga tahun menjadi lima tahun, hal ini membuat ketidakpastian pekerja dalam menentukan nasib mereka. Salah satu efek yang timbul tentu saja Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Senada dengan Kurniawan, Andi Malati, perwakilan dari KSBSI merasa bahwa kesalahan ada dibagian pengawasan, karena pada tahun 2010 kenaikan UMP di Sulawesi Selatan naik hingga 22%, namun investor dari berbagai daerah tetap datang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa UMP yang tinggi tidak menghalangi investor untuk datang, mungkin kebijakan pemerintah atau oknum yang salah arah.

Beberapa serikat pekerja lainnya juga memberi masukan agar Dinas Tenaga kerja dapat menjadi instansi vertikal di bawah Kementerian Ketenagakerjaan yang kebijakan dan pengawasannya dapat langsung mengikuti kebijakan pusat dan tidak lagi menjadi kewenangan daerah. Pemerintah Provinsi juga perlu melakukan pengawasan dan penerapan sanksi kepada perusahaan yang tidak menerapkan aturan dengan benar.

Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum, Kepala Badan Keahlian DPR yang hadir secara daring merasa perlu adanya perspektif yang sama dalam memahami UU Cipta Kerja ini. Pemerintah mungkin lemah dalam pengawasan, maka dari itu harus melakukan percepatan pembinaan SDM untuk memaksimalkan potensi kedepannya, salah satunya pengawasan.

Narasumber lainnya yang hadir secara daring, Ditta Chandra Putri, Analis Hukum Ahli Muda, Kemenko Ekon turut hadir dalam kegiatan kali ini, beliau memberikan tanggapannya bahwa Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi kepada perusahaan terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dan melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan PKWT.

Selanjutnya, Adriani, memberikan tanggapannya bahwa pada awalnya narasi yang diciptakan adalah UU Cipta Lapangan Kerja, namun seiring berjalannya waktu menjadi lebih kompleks yaitu UU Cipta Kerja, yang mana tidak hanya menciptakan lapangan kerja, namun juga menciptakan SDM di dalamnya.

Kementerian Ketenagakerjaan fokus untuk mengatur hak dan kewajiban sudah terpenuhi masing-masing pihak, baik pengusaha maupun pekerja. Untuk masalah PKWT yang dirasa merugikan pekerja, Adriani menyampaikan pendapatnya, “bahwa dengan UU Cipta Kerja ini maka PKWT itu dibuka seluas-luasnya, nah ini kami minta tolong untuk dikawal, karena sebenarnya tidak seperti itu. Dikawal pelaksaannya di perusahan, karena meskipun ada penyempurnaan aturan tentang PKWT itu tetap ada batasnya.”

Segala bentuk diskusi tidak hanya untuk pekerja, namun juga pengusaha dan pemerintah, dimana semuanya sebagai bahan masukan dan pertimbangan yang akan membuahkan solusi yang komperhensif. (Humas Kemensetneg)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           1           0