UU Cipta Kerja Percepat Proses Pembangunan Nasional

 
bagikan berita ke :

Jumat, 09 September 2022
Di baca 3307 kali

Lahirnya UUCK merupakan langkah terobosan sebagai langkah bersama guna mengakselerasi proses pembangunan nasional, utamanya  dengan memberikan kemudahan berusaha, berkembangnya investasi, sehingga mampu menyerap tenaga kerja,  menciptakan keadilan, dan kesejahteraan rakyat.



Dalam rangka membangun semangat partisipasi yang lebih bermakna terkait penyempurnaan dan penguatan implementasi UU Cipta Kerja, Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) yang digelar di Palembang, Sumatera Selatan (9/9) yang dihadiri oleh akademisi dari berbagai universitas di Palembang.



Sekretaris Satgas UU Cipta Kerja, Arif Budimanta, dalam sambutannya saat membuka kegiatan menyampaikan bahwa salah satu tujuan dibentuknya kegiatan ini adalah untuk menjaring aspirasi setelah Putusan MK, baik dari sisi proses, maupun materi,  dan substansi.



“Kita membutuhkan masukan, informasi, dan pendalaman dari ahli yang berhubungan dengan implementasinya khususnya dari masing-masing klaster, tidak hanya ketenagakerjaan, namun klaster lainnya seperti bidang usaha koperasi dan UKM,” tutur Arif.  

 



Lebih lanjut Arif menyampaikan terkait urgensi dari adanya UU Cipta Kerja, “Mengapa undang-undang ini ada, ini menjadi penting karena ini adalah sebuah upaya yang dilakukan bersama antara pemerintah dengan DPR RI yang ditujukan untuk mempercepat apa yang kita sebut dengan proses pembangunan nasional”.



Selain itu, Arif juga menjelaskan keberadaan UU Cipta Kerja itu sendiri dalam hal peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada aktivitas koperasi dan UKM untuk mengakselerasi penciptaan lapangan kerja, menekan kemiskinan, dan mempersempit ketimpangan.



“Pertama adalah tentu berapa banyak penciptaan lapangan pekerjaan yang tumbuh dalam satu tahun kemudian yang kedua menurunkan kemiskinan dan yang ketiga mempersempit inbalancing atau inequality atau kita sebut juga dengan ketidakseimbangan, ketimpangan antar golongan, daerah,” pungkas Arif yang juga sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi.



Penggerak ekonomi nasional tidak hanya datang dari pemerintah, kalau secara nasional berdasarkan produk domestik bruto, APBN/APBD itu kurang dari 15%, sedangkan sisanya 85% datang dari unsur masyarakat, dari unsur golongan usaha baik usaha yang berbasis usaha negara yang representasinya BUMN ataupun badan usaha milik swasta, termasuk usaha informal. Problematika yang terjadi saat ini adalah bagaimana kerumitan yang tercipta dari regulasi yang muncul mulai dari regulasi di tingkat pusat saling ketidaksinkronan antara satu aturan dengan aturan yang lain sampai kemudian pada level daerah.



Dalam menjawab itu semua, Arif menyampaikan bahwa kita butuh satu inovasi baru dalam menciptakan solusi mencari alternatif agar kemudian kita bisa tumbuh lebih tinggi dan lebih cepat dengan didorong oleh investasi yang berkualitas.



“Setidaknya ada 3 indikator investasi yang berkualitas, yakni investasi yang memiliki job creation yang tinggi untuk mengakselerasi penciptaan lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, kemudian yang kedua investasi yang menghasilkan devisa kepada negara yang artinya bahwa apabila devisa negara berlebih maka, kita punya nilai tukar yang bagus dan inflasi bisa kita kendalikan, dan yang ketiga adalah investasi yang memberikan alternatif untuk substitusi impor dalam rangka untuk hilirisasi,” pungkas Arif.



Sebagai pemantik diskusi, hadir juga dalam kegiatan yakni Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul, Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kepala Pokja Satgas Percepatan UU Cipta Kerja, I Ktut Hadi Priatna, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi.



Forum diskusi bersama dan serap aspirasi dengan para akademisi dan elemen masyarakat sipil yang kritis merupakan inisiatif yang amat krusial dalam rangka melaksanakan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) terkait 'meaningful participation'.

 



Masyarakat memiliki hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan/jawaban sehingga tercipta partisipasi yang bermakna dan sebuah produk kebijakan publik yang aspiratif serta berkualitas.



Kegiatan diskusi dihadiri oleh lebih dari 30 peserta yang terdiri atas dosen dan mahasiswa dari universitas di Palembang, yakni Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sriwijaya, Fakultas HUkum Universitas MUhamadiyah Palembang, Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang, Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda, dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis PGRI. (FFA - Humas Kemensetneg)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
3           1           0           0           4