ORASI ILMIAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA SIDANG TERBUKA DIES NATALIS KE-45 IPB

 
bagikan berita ke :

Selasa, 04 November 2008
Di baca 1392 kali

ORASI ILMIAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
SIDANG TERBUKA DIES NATALIS KE-45 IPB
DI GRAHA WIDYA WISUDA, IPB, BOGOR
PADA TANGGAL 4 NOVEMBER 2008




Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati Saudara Menteri Pendidikan Nasional dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Pimpinan Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Badan-badan Usaha Milik Negara,

Yang saya hormati Saudara Gubernur Jawa Barat dan para Pimpinan dan Pejabat Negara yang bertugas di Jawa Barat, baik dari unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun TNI dan Polri,

Yang saya hormati Saudara Rektor IPB dan para Pimpinan Perguruan Tinggi yang turut hadir dalam acara ini,

Yang saya hormati para mantan Rektor, para sesepuh, para tamu kehormatan, Saudara Pimpinan dan para anggota Majelis Wali Amanat, pimpinan dan anggota Senat Akademik, pimpinan dan anggota Dewan Guru Besar, pimpinan dan anggota Dewan Audit,

Yang saya hormati para pejabat Rektorat, para dosen, para mahasiswa, para pegawai negeri, dan segenap civitas akademika Institut Pertanian Bogor yang saya cintai,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Marilah pada kesempatan yang baik dan insya Allah penuh berkah ini sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena kepada kita semua masih diberi kesempatan, kekuatan, dan semoga kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan pengabdian kita kepada masyarakat, bangsa, dan negara tercinta. Kita juga bersyukur ke hadirat Allah SWT karena hari ini dapat bersama-sama bertemu di ruangan ini untuk meningkatkan pengabdian kita bersama kepada negara dan bangsa. Atas nama negara, atas nama Pemerintah, dan selaku pribadi saya mengucapkan Selamat Dies Natalis kepada Institut Pertanian Bogor. Semoga ke depan, lembaga pendidikan yang kita cintai dan banggakan bersama ini dapat lebih meningkatkan prestasi, kinerja, dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara.

Saya juga mengucapkan terima kasih atas kontribusi IPB selama ini dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta menyukseskan pembangunan nasional. Secara khusus saya juga ingin menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi-tingginya, sebagaimana disampaikan oleh Saudara Rektor tadi, begitu banyak capaian prestasi dan hasil penelitian serta inovasi yang dilakukan oleh keluarga besar IPB, baik dalam bidang pertanian maupun non pertanian. Saya berharap, Saudara-saudara, agar IPB terus menjadi world class university, agar IPB juga terus menjadi institut riset bertaraf internasional, agar IPB berada di paling depan dalam studi di bidang pertanian. Dan yang keempat atau yang terakhir adalah menjadi harapan kita IPB menjadi pelopor dalam gerakan ketahanan pangan.

Saya kira cukup, nanti kalau terlalu banyak peran dan tugasnya jangan-jangan ada yang bilang: “Ini institut kok fleksibel banget ini”. Memang alumnus IPB ada yang bekerja di sawah dan di ladang-ladang pertanian, ada yang bekerja di bank, ada yang menjadi penyanyi dan penyair, ada juga seperti saya yang kebanyakan pekerjaan rumah. Oleh karena itu, marilah kita satukan energi kita, tekad kita, untuk memberikan kontribusi yang terbesar kepada bangsa dan negara.

Hadirin yang saya muliakan,

Kini saya akan masuk pada substansi orasi ilmiah saya. Saya ingin mengedepankan secara lebih ringkas dan memuat hal-hal yang esensial karena topik yang ingin saya kedepankan sesungguhnya berdimensi amat luas. Namun demikian, saya akan batasi, sekali lagi, pada hal-hal yang paling esensial. Saudara Rektor telah mengemukakan tadi bahwa judul pidato ini adalah Ekonomi Indonesia Abad 21 Menjawab Tantangan Globalisasi. Saya mulai dengan dua cerita singkat.

Pertama, pada tanggal 1 Syawal 1429 Hijriah kemarin, setelah saya bersama-sama yang lain bersholat Idul Fitri di Masjid Istiqlal Jakarta, saya kembali ke Istana Negara, kemudian sungkem dan berhalal bihalal kepada kedua orang tua kami, ibunda saya, ibunda istri saya. Sebelum saya menerima ucapan atau halal bihalal dengan rakyat yang hadir waktu itu, saya mengeluarkan statement di depan media massa yang intinya menyerukan kepada Amerika Serikat, menyerukan kepada negara-negara maju untuk betul-betul bisa mengatasi krisis keuangan yang bermula dari Amerika Serikat dan merembet ke negara-negara lain itu dengan penuh tanggung jawab. Segera setelah itu, ketika ada libur nasional, kami bekerja siang dan malam, maraton, sampai Saudara-saudara mengikuti, saya keluarkan 10 Instruksi Presiden untuk mengelola dampak krisis ini dan kemudian dilanjutkan hingga hari ini pengelolaannya termasuk menetapkan 10 kebijakan, langkah, dan aksi-aksi Pemerintah.

Semuanya itu kami lakukan tapi menyisakan satu pertanyaan kunci: Mengapa Indonesia harus menanggung beban? Mengapa negara kita menjadi atau ikut dihukum oleh satu krisis keuangan yang bak gelombang tsunami, episentrumnya di Amerika Serikat, kemudian bergerak ke mana-mana sampai ke tanah air kita. Pertanyaan kedua: Mengapa tatanan keuangan global begitu tidak amannya? Kita tahu, masih dalam ingatan kita bahwa sejumlah krisis telah terjadi di dunia ini. Kita masih ingat the great depression tahun 1919 sampai 1929, sebelum Perang Dunia ke-2, kita mengetahui ada krisis harga minyak OPEC tahun 1973, 10 tahun yang lalu Asia mengalami krisis, dan sekarang dipicu oleh krisis keuangan di Amerika, dunia pun harus kembali mengalami resesi ekonominya. Mengapa tatanan keuangan global sekali lagi begitu tidak stabil dan begitu tidak aman? Ini pertanyaan kritis pertama yang saya kedepankan ke hadapan Saudara semuanya.

Cerita yang kedua, yang nanti juga akan masuk kepada pertanyaan kunci yang kedua adalah beberapa bulan yang lalu kami berkumpul di Yogyakarta. Saya mengundang jajaran Pemerintah, jajaran dunia usaha, para ekonom, dan teman-teman yang lain untuk membahas bagaimana Indonesia bisa mengelola krisis pangan dan krisis energi yang terjadi tahun ini atau tepatnya beberapa bulan yang lalu. Kembali kita disadarkan krisis seperti ini masih bisa terjadi kapan saja. Tentu saja waktu itu semangat kita adalah bagaimana mengubah dari krisis menjadi peluang, from crisis to opportunity. Kita membahas secara mendalam, ada cetak biru, ada road map, bagaimana ke depan, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun kita betul-betul membangun ketahanan pangan dan ketahanan energi kita karena Saudara-saudara, saya kira semua setuju dengan saya, tidak ada kamus Indonesia kekurangan pangan dan kekurangan energi apabila sumber daya yang kita miliki, resources yang ada di negeri ini kita kelola dengan sebaik-baiknya. Pertanyaan kunci dari itu adalah mengapa pula dunia tiba-tiba mengalami krisis pangan dan krisis energi? Dan ini yang menjadi domain atau bidang perhatian IPB, bagaimana ke depan Indonesia bisa meningkatkan ketahanan pangan dan energinya?

Saudara-saudara,

Dengan dua cerita ini, dengan dua ilustrasi ini saya mengajak forum yang mulia ini untuk bersama-sama memikirkan secara mendalam atau katakanlah melakukan inquiry tentang globalisasi dan tatanan perekonomian dunia termasuk sistem atau arsitektur keuangan global yang berlaku dewasa ini. Mari kita melakukan inquiry, memikirkan pula bagaimana bangun ekonomi Indonesia mendatang yang tentu membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dan mampu menjawab tantangan globalisasi. Itulah isu-isu besar yang akan menjadi bahasan utama dalam orasi ilmiah saya hari ini.

Kepada segenap hadirin, karena ini forum akademik, saya sampaikan bahwa orasi ilmiah saya ini: Satu, bukan untuk menjelaskan secara komprehensif kebijakan dan strategi perekonomian kita. Yang kedua, juga bukan untuk menguraikan detil kebijakan sektoral seperti kebijakan pangan dan pertanian, kebijakan energi dan sumber daya mineral. Yang ketiga, juga bukan untuk menganalisis krisis keuangan global yang terjadi dewasa ini termasuk policy respond dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah. Dan yang keempat juga bukan berisi retorika-retorika yang mendiskreditkan atau mencemooh ideologi-ideologi ekonomi yang ada di dunia ini, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme. Empat, bukan tadi sering saya angkat pandangan saya, posisi Indonesia di berbagai forum. Menteri-menteri terkait juga sering menjelaskan seluk-beluk tentang hal-hal itu.

Yang ingin saya sampaikan pada orasi ilmiah ini adalah pandangan dan pemikiran saya yang berkenaan dengan isu besar, isu yang fundamental yang sudah saya singgung di awal pidato tadi. Pertama, menyangkut globalisasi dan tatanan perekonomian dunia yang banyak yang menilai sebagai tatanan yang tidak aman, tidak adil, dan tidak menjanjikan kemakmuran bersama. Yang kedua, isu yang mendasar adalah arah dan bangun perekonomian Indonesia seperti apa ke depan ini yang tepat dan sustainable, dan sekaligus bisa merespon tantangan globalisasi. Ada catatan kecil saya, Saudara-saudara, meskipun ini orasi ilmiah, Saudara Rektor ijinkan saya untuk menggunakan bahasa yang populer, bahasa yang barangkali lebih mudah dimengerti karena saya tidak ingin menghadirkan kompleksitas ataupun pendekatan akademik yang berlebihan. Insya Allah setelah orasi ini, saya minta bantuan dari IPB dan Brighton Institute, orasi ilmiah ini bisa dibukukan, di situ bisa dikedepankan analisis yang lebih mendalam, statistik yang sehubungan, maupun model barangkali yang diperlukan untuk menjustifikasi pikiran-pikiran yang ingin saya kedepankan ini. Tapi bukan pada forum ini semua itu akan saya sampaikan.

Sedangkan makna ilmiah dalam orasi ilmiah, ilmiahnya barangkali saya ingin menyampaikan semua itu berangkat dari common sense, dari akal sehat karena ekonomi itu common sense, politik itu common sense, mempertahankan negara supaya aman juga common sense. Kalau itu kita gunakan, insya Allah akan ketemu dan bagi yang senang dengan sejarah ekonomi Adam Smith, dalam dua bukunya yang terkenal menjadi klasik yang berjudul An Inquiry Into the Causes of the Wealth of the Nations dan yang kedua yang jarang dibaca adalah Theory of Moral Sentiments. Itu dua-duanya berangkat dari common sense yang tentu hidup pada abad 18 waktu itu.

Saudara-saudara,

Dalam konteks itulah, dalam pendekatan itulah akan saya teruskan orasi ilmiah saya. Saya harus mengajak hadirin sekalian memahami perkembangan dan dinamika lingkungan global karena di situlah tempat negara kita hidup dan berkembang, dari situlah kita menghadapi tantangan-tantangan. Kita harus paham, kita harus berpikir dalam konteks. Dengan demikian, solusi yang kita pilih tentunya, solusi yang lebih sustainable dan sesuai dengan lingkungan keadaan yang ada. Kembali kita perlu bertanya ada apa sebetulnya dengan bumi dan dunia kita? Ada apa our world, our planet? Saya tidak ingin menguraikan secara panjang lebar tapi ada 3 buku yang ditulis oleh orang-orang yang kredibel, yang bisa menggambarkan what’s going on in our world dewasa ini?

Pertama, Thomas Friedman, ada buku yang baru terbit yang berjudul Hot, Flat, and Crowded Planet tentu dengan solusi bagaimana menyelamatkan bumi ini. Jeffrey Sachs yang menyusun buku The End of Poverty, buku yang terbaru adalah The Commonwealth, sama, kecemasan terhadap pemanasan global. Kemudian Al Gore, Saudara tahu semua The Inconvenient Truth. Kebetulan saya sudah bertemu dengan ketiga-tiganya dan sudah berdiskusi. Mereka bertiga mewakili ribuan orang di dunia ini yang cemas kalau buminya tidak selamat karena perubahan iklim dan pemanasan global. Saya tidak akan masuk ke situ karena kita sama-sama mengetahuinya.

Yang kedua, Saudara-saudara, ada ratusan buku yang mengupas tema-tema seperti ini, bahayanya globalisasi, runtuhnya kapitalisme global. Bagaimana membikin globalisasi itu membawa manfaat bagi semua? Bagaimana mengurangi kemiskinan global? Kemudian bagaimana pula pembangunan ekonomi yang tidak merusak lingkungan? Artinya, mereka memandang bahwa tatanan perekonomian dunia termasuk tatanan keuangan dunia dipandang tidak adil, tidak menjamin kemajuan dan kemakmuran bagi semua bangsa. Tentu saja ada anti tesis, ada ratusan buku juga yang mengatakan globalization is working well, globalisasi itu baik-baik saja. Di sinilah akan memperkaya cakrawala kita, khasanah kita, pemahaman kita tentang dunia yang telah berubah dan terus berubah dewasa ini.

Kemudian, yang ketiga, masalah kembali what’s going on di bumi dan dunia kita ini. Ada yang, saya kira kita banyak membaca, ratusan buku yang mengupas krisis-krisis yang terjadi di abad 20 maupun abad 21 ini. Mulai dari the great depression tadi sampai krisis yang terjadi sekarang ini. Artinya, kita berkesimpulan bahwa arsitektur keuangan global memang belum dikatakan aman, tidak stabil, dan setiap saat bisa mendatangkan krisis.

Saudara-saudara,

Dari konstruksi pemikiran seperti itu, maka kalau kita mengambil kesimpulan besar, kesimpulan yang pertama adalah bumi kita dalam keadaan bahaya. Jika climate change dan global warming itu terus berjalan tanpa ada upaya untuk menghentikan atau menguranginya, paling tidak, di sini diperlukan kemitraan dan kerja sama global. Kemudian, dalam kaitan ini, saya sudah menyampaikan pandangan kita, pandangan Indonesia, pandangan saya, di berbagai forum, di Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk konferensi tentang climate change di Bali beberapa saat yang lalu. Kesimpulan besar kedua dan ketiga adalah memang tatanan perekonomian dunia, tatanan keuangan dunia harus diperbaiki dan ditata kembali agar lebih aman dan stabil, agar lebih adil dan memberikan manfaat secara merata pada semua bangsa.

Saudara-saudara,

Mari kita lanjutkan untuk menelaah bersama secara ringkas masalah-masalah itu. Apa sebab mendasar dari persoalan yang pelik yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia tersebut? Kemudian, setelah itu, setelah kita paham sebab-sebab mendasar, akar-akar masalahnya, bagaimana kita memperbaikinya? Agar sistem itu menjadi lebih baik. Akar dan penyebab utama dari tidak stabil, tidak aman, dan tidak adilnya perekonomian dunia adalah: satu, di dunia ini banyak berlangsung atau terjadi yang disebut dengan imbalances, ketimpangan yang mendasar. Ketimpangan antara negara kuat, negara maju dan negara kaya dengan negara lemah, negara terbelakang dan negara miskin. Mismatch atau ketimpangan antara supply dengan demand, antara global production dengan global consumption. Ketimpangan atau ketidakmerataan bagi yang memiliki sumber daya alam dari negara-negara di dunia ini, teknologi maupun capital termasuk financial capital. Kemudian power arrangement yang juga menyiratkan sesuatu yang tidak simetris, tidak membangun level playing field misalnya negara maju, negara belum maju, termasuk betapa besar dan kuatnya peran multinational corporations.

Saudara-saudara,

Krisis energi yang baru terjadi, sekarang pun ekornya masih kita rasakan, mengapa itu? Apakah itu mismatch antara supply dengan demand atau memang ada spekulasi yang luar biasa. Krisis pangan, apa betul ada kekurangan pangan karena penduduk bumi 6,6 milyar. Apakah mismatch antara global supply dengan global demand? Apakah itu karena inflasi yang disebut dengan cost plus inflation sehingga harga-harga pangan itu naik?

Itulah kemarin 17 pemimpin dunia berkumpul di Hokkaido, Jepang untuk membahas masalah ini. Saya sudah menyampaikan pandangan-pandangan kita, pandangan-pandangan Indonesia terhadap semuanya itu dengan harapan ke depan janganlah sering terjadi krisis energi atau pun krisis pangan seperti itu.

Yang pertama sebabnya adalah fundamental imbalances. Sebab yang kedua yang saya sebut dengan terjadinya bubble economy, ekonomi gelembung. Gelembung ya gelembung, rongga, kosong. Yang terjadi di banyak negara, ekonomi yang ada itu, yang di permukaan ternyata bukan real economy tapi lebih bersifat money economy. Terjadi spekulasi yang berlebihan, yang too much, yang melebihi batas kepatutan sehingga sering kali kita melihat sebuah ekonomi negara tertentu, daerah tertentu yang bergerak itu tidak mencerminkan kekuatan ekonomi yang riil. Saya berikan contoh, Jawa Barat. Kalau Jawa Barat misalnya, besarnya ekonomi pertanian itu Rp 40 triliun, ekonomi jasa di Jawa Barat misalnya Rp 30 triliun, berapa sudah, 70? Ekonomi industri yang disumbang Rp 30 triliun. Jadi real economy di Jawa Barat itu Rp 100 triliun. Tetapi kalau dianggapkan, diasumsikan, dengan permainan capital market segala macam seolah-olah Rp 500 triliun atau Rp 1.000 triliun itulah bubble economy. Hingga ditusuk, des, pecah berantakan dan terjadi krisis. Why? Karena tidak mencerminkan ekonomi yang riil.

Saudara-saudara,

Sebelum krisis yang sekarang ini sudah banyak prediksi suatu saat akan terjadi krisis, permasalahannya bukan terjadi krisis atau tidak tapi kapan meletusnya, pecahnya gelembung ini dan sudah banyak sekali warning yang diberikan, hati-hati dengan economy bubble tapi kita terlena dan negara-negara maju yang kita anggap sebagai guru dalam banyak hal juga melakukan kesalahan yang fundamental, yang kita pun tidak tahu menahu sedang tenang-tenang membangun ekonomi, kita kena getahnya. Itu yang kedua.

Yang ketiga, Saudara-saudara, yang fundamental adalah yang berkaitan dengan rules, governance dan institution dari perekonomian global. Ada yang mengatakan rules, governance itu dianggap hanya menguntungkan negara-negara pemilik kapital, negara-negara yang powernya kuat dan menguntungkan multinational corporation. Ada juga rules dan governance itu tidak dijalankan oleh lembaga yang dianggap membawakan, menyuarakan semua kepentingan bangsa-bangsa.

Ada juga yang mengatakan lembaga-lembaga internasional yang diciptakan pasca perang dunia kedua, Brighton Woods, seperti IMF, World Bank, WTO itu dinilai tidak berhasil untuk mengatasi berbagai permasalahan di dunia ini. Itulah tiga permasalahan fundamental yang dihadapi dalam perekonomian global.

Saudara-saudara,

Lantas sekarang bagaimana solusinya? Kalau menganalisis sebab-sebabnya mungkin semua senang, semua bisa. Mengkritik, menyalahkan lebih senang lagi. Ketika ditanya bagaimana solusinya, bagaimana konstruksi yang dianggap lebih bagus baru kita berpikir serius. Saya mengajak IPB untuk tetap serius dalam memecahkan permasalahan-permasalahan bangsanya meskipun juga tetap menjaga keseimbangan dalam sisi kehidupan kita. Saya ingin mengangkat solusinya seperti apa, menurut pemikiran saya, menurut pandangan saya.

Pertama, perlu ada kesadaran atau kehendak, the will, aksi bersama yang bersifat global untuk mengurangi imbalances. Ambillah yang relatif bisa diterima, ya dihitung berapa kebutuhan energi di dunia ini supaya supply dan demandnya pas. Dihitung bagaimana hubungan yang dikonsumsi berapa oleh masyarakat dunia, produksinya berapa. Ini saya sampaikan pandangan Indonesia ini pada pertemuan di Hokkaido, Jepang, beberapa saat yang lalu.

Saudara, ingat kata-kata Ghandi, Mahatma Ghandi. Bumi ini, dunia ini sesungguhnya bisa memenuhi keperluan manusia. Tetapi bumi dan dunia tidak akan pernah bisa memenuhi ketamakan, kerakusan manusia. Kalau need, we can effort, tapi kalau greed rakus, tamak, ingin mengambil sebesar-besarnya tidak akan pernah bisa disediakan. Kolumnis yang bernama Farid Zakaria mengatakan kesalahan Amerika dalam krisis ini adalah American people have consumed more than they produce. Konon lebih banyak yang dikonsumsi dibandingkan yang diproduksi. Mari kita belajar, jangan-jangan kita pun suatu saat lebih banyak mengkonsumsi dari pada yang kita produksi, jangan-jangan kita bukan need tapi greed, tamak, rakus, rusak dan gelap masa depan kita.

Di sini saya dukung IPB, saya ingin memberikan peran kepada IPB yang lebih luas untuk ketahanan pangan, tepuk tangan, silahkan, karena …, terima kasih. Misi kita Saudara-saudara, mari kita utamakan kehematan, optimasi dalam penggunaan pangan, air dan energi. Jangan lupakan air. Pangan, air dan energi. Kalau pangan, energi dan air cukup, gonjang-ganjing dunia tidak apa-apa. Kita bisa bertahan dan bisa survive. Dan ingat kalau pangan, energi, air tadi kalau tidak pandai mengelolanya akan merusak lingkungan, masuk dalam teori global warming dan climate change.




Saudara-saudara,

Yang kedua perlu dilakukan kampanye dan aksi global untuk mencegah terjadinya bubble economy, mencegah spekulasi yang melampaui kepantasan. Di sini kita merindukan hadirnya satu institusi untuk bisa melakukan pengawasan. Mari kita pikirkan bersama, semua.

Kemudian, informasi harus punya niat baik. Susah ini merumuskannya, informasi punya niat baik. Jadi kalau ada market transparancy, spekulasi itu tidak semudah itu tapi kalau information tidak merata orang bisa ditipu. Spekulasi jalan terus, membayangkan nilai masa depan, padahal tidak begitu, bubble itu. Mari kita cegah bubble economy. Bagaimana mungkin negara Amerika Serikat yang sangat maju, ekonominya kuat, ekonominya luar biasa, kok jatuh gara-gara krisis kredit perumahan seperti itu, how come, bagaimana terjadi? Karena bubble economy.

Saudara-saudara,

Saya minta para ekonom Indonesia bisa memikirkan termasuk Mendiknas yang ahli keuangan. Barangkali, suatu saat dunia memerlukan one single global currency. Agar tidak ada krisis nilai tukar, agar uang tidak diuangkan, diekonomikan, berubah dari fungsinya sebagai nilai tukar. Tahapannya barangkali ada euro, ada dollar, mungkin ada Asian currency yang suatu saat ada konstruksi bersama untuk masuk one single global currency.

Yang ketiga, mari kita telaah bersama-sama apakah keberadaan dan fungsi dari IMF, dari World Bank dan WTO itu benar-benar menjadi solusi bersama, atau lebih menjadi alat bagi yang kuat. Lebih menguntungkan bagi pemain-pemain di tingkat global ini.

Dan yang terakhir perlu dipikirkan keseimbangan perekonomian global. Saudara-saudara tahu, sekarang kalau kita bicara geo economy, kita bicara kutub-kutub ekonomi ada Eropa, ada Amerika Utara (Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko). Konon ekonomi Amerika Utara itu besarnya sekitar 30% dari global GDP. Ekonomi Eropa itu besarnya 22% dari global GDP. Kalau kedua itu goyah, ya dunia goyah. Sesungguhnya Asia Timur punya potensi tapi belum manifest, belum menjadi original economic community yang structure, yang punya rules, yang efektif. Sehingga harapan kita, pemikiran yang kita kedepankan adalah bagus kalau Asia Timur juga menjadi satu original community sebagaimana Eropa maupun Amerika Utara.

Ini sama dengan balance of power, dalam international peace and security tapi konsepnya beda. Mengapa beda konsepnya? Kalau ada tiga grouping Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur maka kalau ada gonjang-ganjing, salah satu bisa menjadi penyangga, menjadi anchor, pertumbuhan tetap terjadi. Kalau tiga-tiganya eksis sebagai economy community kalau ada krisis cepat bisa mengatasinya, lebih efektif. Dan kemudian, kalau tiga-tiganya bersinergi istilah Pak Rektor adalah ada konvergensi akan bagus lagi, karena akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar.

Itulah Saudara-saudara, bagaimana kita mencari solusi terhadap tatanan perekonomian dunia yang kurang adil, arsitektur keuangan global yang unsafe, unstable, setiap saat bisa berbahaya, karena kalau itu aman dulu lingkungan kita, maka insya Allah yang kita lakukan di dalam negeri, bangun ekonomi Indonesia di abad 21 akan menjadi lebih baik. Masalahnya sekarang seperti apa ekonomi kita sekarang dan ke depan?

Saudara-saudara,

Mari kita menelaah secara mendalam dengan jernih, dengan rasional tanpa emosional. Sambil menelaah kembali perekonomian kita sejak mendiang Bung Karno, mendiang Pak Harto sampai sekarang ini, membandingkan dengan ekonomi-ekonomi negara-negara sahabat dan sebagainya, dan sebagainya.

Saya ingin mengedepankan dalam orasi ilmiah ini satu set of principles, of imperatives, of values, of visions, of policies, of strategies, yang bisa sama-sama kita telaah dan bolehlah saya sekali-sekali memberikan pekerjaan rumah kepada IPB untuk nanti ditindaklanjuti, dibahas lebih mendalam lagi. Libatkan mahasiswa agar mereka-mereka kelak menjadi ekonom-ekonom terkemuka, menjadi pelaku ekonomi yang berhasil, menjadi menteri-menteri ekonomi. Kasih persoalan mulai sekarang, atau seperti saya berbicara disini selaku alumnus IPB.

Pertama, catat dalam hati dan pikiran, nanti akan kita bagikan transkripsinya. Pembangunan ekonomi Indonesia ke depan nanti mesti memadukan pendekatan resources, knowledge, and culture based economy. Maknanya memang Allah SWT menganugerahi sumber daya, resources yang luar biasa di negeri kita. Kalau tidak kita kelola berdosa kita, salah kita, merugi kita. Mari kita kelola, dasarnya resources, tapi ingat akan memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi, agar tinggi daya atau nilai tambahnya, bawa teknologi, bawa knowledge dengan falsalah, dengan nilai-nilai kultural yang kita miliki. That’s number one.

Yang kedua, ekonomi Indonesia, ekonomi 230 juta dan akan tambah lagi, ekonomi tanah air seluas 8 juta km persegi itu harus sustainable. Kalau ada growth, harus great growth. Mengapa? Ya kita tidak ingin menguras milik anak cucu kita, memikirkan masa depan kita. Kita sampai bisa begitu kalau ada keseimbangan, ada penghematan dan optimasi sumber daya alam. Sudah saya katakan tadi pandangan Gandhi dan keseimbangan-keseimbangan yang lain.

Ketiga, yang kita pilih dan anut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity. Dari dulu pertumbuhan ingin kita ratakan, tapi selalu ada masalah-masalah yang mendasar, kita cari dan cari mengapa. Sekarang kita mulai menata meskipun ini quiet revolution. Menata, yang dilaksanakan pemerintah sekarang, bukan hanya pertumbuhan, yang akan kita capai adalah pemerataan, adalah social safety nett, penanggulangan kemiskinan, maka kita pun melakukan sesuatu dari anggaran kita, dari kebijakan fiskal yang memungkinkan ekonomi tumbuh, tetapi pertumbuhan itu inklusif, pertumbuhan itu broad based, pertumbuhan itu dinikmati banyak orang lagi. Saya tidak percaya dengan trickle down effects. Implementasi dari growth with equity adalah ya ekonomi kita harus pro growth, pro job, pro poor, harus sejak awal. Jangan ”Yang penting tumbuh dulu Pak, tujuh, delapan, sembilan hektar setelah itu akan merata.” No, itu hanya akan menumbuhkan gap yang terlalu tinggi. Sejak awal harus kita pastikan growth with equity terjadi.

Yang keempat, kita ke depan harus memperkuat ekonomi dalam negeri, pasar dalam negeri, pasar domestik. Mengapa sumber daya kita, Saudara-saudara, minyak, gas, tambang, kayu, pertanian, ikan, semua memungkinkan untuk our domestic economy itu strong. Belum pasarnya, 230 juta. Income perkapita terus naik, daya beli terus naik. Export oriented economy bukan pilihan kita. Jadi jangan kita ikut-ikutan Taiwan, ikut-ikutan Singapura, ikut-ikutan yang lebih export oriented atau service economy. Itu tidak realistic, karena tanah air kita, negara kita, gelombang peradaban kita, ada masyarakat pertanian, ada masyarakat industri, ada masyarakat jasa atau informasi. Memang ekspor diperlukan sebagai komponen pertumbuhan, sebagai penyeimbang atau bikin sehatnya balance of payment, urusan devisa kita. Tapi kalau kita hanya menggantungkan ekspor, begitu ada resesi dunia, pasar di luar menciut, kelabakan kita. Oleh karena itu, mari kita perkuat dan perkokoh ekonomi domestik kita.

Nomor lima, ekonomi nasional mesti berdimensi kewilayahan, jangan hanya berpikir Jakarta, berpikir Bandung, berpikir Jawa Barat dan seterusnya. Mari kita tebarkan pertumbuhan ekonomi di seluruh Indonesia. Kabupaten, kota, provinsi itu harus menjadi sumber, menjadi kekuatan ekonomi lokal, back to nature, go local. Dalam keadaan krisis kalau kabupaten-kabupaten ekonominya kuat, provinsi ekonominya kuat, pangannya oke, energinya oke, airnya oke, maka dia menjadi sabuk pengaman. Sekarang Saudara tahu kita sudah menerapkan desentralisasi, sudah menerapkan otonomi daerah, mesti pas, mesti klop.

Yang kelima, sumber-sumber investasi dan pendanaan, Saya ulangi pendanaan dalam negeri mesti kita perkuat. Mari kita hitung cukupkah kita menabung, saving, apakah tabungan itu disimpan di bawah bantal atau untuk investasi? Dan seterusnya, dan seterusnya. Jangan Saudara-saudara kita mengharapkan bantuan pendanaan dari luar, dangerous. Manakala kita bisa membiayai lebih banyak lagi.

Saudara tahu, mudah sekali stock atau capital datang, semudah itu pula dia terbang, capital outflow apabila terjadi gangguan-gangguan pada fundamental dan terjadi krisis yang lain. Oleh karena itu, wajib hukumnya kita memperkuat sumber-sumber pendanaan dalam negeri, sumber-sumber investasi dari dalam negeri. Dan alhamdulillah dulu dalam masa krisis hutang kita besar sekali namanya debt to GDP rasio, rasio hutang terhadap pendapatan domestik bruto itu tinggi sekali, 70% bahkan lebih. Empat tahun yang lalu, 54%, alhamdulillah sekarang berada dalam kisaran sekitar 32%. Ini artinya makin sedikit kita menggunakan sumber pembiayaan dari dunia. Insya Allah makin ke depan makin kecil, kecil, kecil, dan akhirnya kita mengedepankan pembiayaan dari dalam negeri.

Yang ketujuh, kemandirian dan ketahanan pada bidang-bidang tertentu, sektor ekonomi tertentu, harus kita lakukan. Pertama pangan, setuju pangan? Kedua energi, yang ketiga industri pertahanan, mengapa? Kok dari pangan langsung industri pertahanan, kok jauh sekali.

Pangan, energi, Saudara tahu belum hilang ingatan kita ternyata 6,6 milyar penduduk bumi mengkonsumsi pangan dan energi yang tinggi. Kalau tidak hati-hati terjadi gonjang-ganjing. Mari kita bikin tahan negara kita. Kita punya sumber gas yang banyak, minyak yang banyak, batu bara yang banyak, tambang yang lain, mengapa kita harus tidak bisa mengelola. Demikian juga pangan, industri pertahanan. Negara kita pernah diembargo 15 tahun. Baru lepas tahun 2005 yang lalu ketika saya minta keadilan dunia. Salah apa Indonesia diembargo, dikasih sanksi begini lama. Pahit rasanya, negara dengan uangnya sendiri membeli perlengkapan militer tidak bisa digunakan, spare parts tidak bisa diadakan karena embargo. Oleh karena itu mutlak industri pertahanan kita harus kuat menjaga kedaulatan dan keutuhan negara kita termasuk pangan, energi dan kebutuhan dasar manusia yang lainnya.

Masih dua lagi, nomor delapan. Ini nanti kalau satu imperatif itu dijadikan kertas karya sudah banyak sekali Bapak, sudah banyak sekali. Yang kedelapan, Saudara kenal keunggulan komparatif, comparative advantage. Saudara kenal keunggulan kompetitif, competitive advantage, kenal dulu ada sedikit discourse antara Habibienomics dengan Wijoyonomics, masih ingat?

Habibienomics, Pak Habibie, beliau mengedepankan high tech yang added valuenya tinggi, bisa mengangkat ekonomi dan kesejahteraan sebuah bangsa. Pak Wijoyo mengatakan saya lebih suka dengan keunggulan komparatif, dengan yang kita miliki, dengan international trade, membawa hasil yang riil. Dua-duanya tidak perlu dipertentangkan.

Ingat sekali lagi, di Indonesia ini tiga gelombang peradaban ada. Tiga corak masyarakat ada, ada masyarakat pertanian, masyarakat industri, dan masyarakat informasi, masyarakat jasa. Dua-duanya kita perlukan, dua-duanya, comparative advantage dan competitive advantage. Dan ingat, international economy, penting, tetapi intra-national economy juga penting. Ekonomi antar provinsi, ekonomi antar kota itu juga penting. Dan di situlah kita bisa memperkuat keunggulan di kedua-duanya, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Dan yang terakhir nomor sembilan. Ada yang berpendapat, terutama fundamentalisme pasar,” Pemerintah tidak usah ikut-ikutan, tidak usah ikut campur, diserahkan pada pasar, ada invisible hand yang akan mengatur.” Kalau tidak mana itu invisible hand, pasar sering gagal, pemerintah harus masuk. Itulah dulu ada command economy, plan economy, ada market economy. Saya punya pendapat, sesungguhnya sudah kita jalankan. Kita memerlukan mekanisme pasar untuk efisiensi tapi kita memerlukan peran Pemerintah yang tepat untuk keadilan. Oleh karena itu, jangan dipertentangkan, dua-duanya kita perlukan. Market failure sering terjadi, kegagalan pasar. Government failure juga bisa terjadi, kegagalan pemerintah. Oleh karena itu, yang penting rakyat mendapatkan kesejahteraan dan pelayanan terbaik, apapun kerangka yang kita pikir, yang kita bikin, dengan demikian tidak perlu ada dikotomi yang tajam.

Saudara-saudara,

Sembilan hal itulah yang saya sebut dengan boleh dikatakan imperative, boleh dikatakan dengan visi, boleh dikatakan dengan grand strategy, boleh dikatakan dengan macro policy dan sebagainya.

Sebagai penutup, apa yang saya sampaikan tadi bukan sesuatu di awang-awang. Sebagian Saudara-saudara, telah lama berlaku, telah lama dilakukan di negeri tercinta ini. Saya hanya ingin menjustifikasi itu benar, itu masih valid. Sebagian yang lain telah kita mulai jalankan akhir-akhir ini, tahun-tahun ini. Sebagai contoh tadi implementasi dari growth with equity dalam kebijakan fiskal dan APBN kita. Sebagian lagi masih memerlukan tindak lanjut dan implementasi secara berkelanjutan.

Saudara-saudara,

Mungkin ada yang bertentangan dengan mainstream, pemikiran ekonomi, ini kok aneh ini, kalau teori ekonomi tidak begitu. Silahkan, sejarah akan menguji nanti mana yang klop untuk negara kita apakah kita mencangkok model negara tertentu diterapkan di Indonesia. Atau kita menggali apa yang ada di negeri kita sendiri yang kira-kira cocok untuk menjadi bangunan dari perekonomian kita. Ada yang mengatakan barangkali, ah itu kurang tegas itu. Kalau tegas itu ditafsirkan kita harus milih, milih kapitalisme atau memilih sosialisme atau tegas itu kita harus jelas anti globalisasi atau pro globalisasi, atau kita anti ekspor beras atau anti impor beras.

Saudara-saudara,

Kenapa kita harus memiliki sikap yang hitam putih? China, saya baru pulang dua minggu yang lalu dari China. Tidak ada bayang-bayang negara yang otoritarian, yang dulu terkenal dengan sistem komunismenya, dan sebagainya. China maju berkembang. Apa kata mendiang Dong Xiaoping? Apa kata para modernis China? Sekarang mereka kalau ditanya apa sih ideologi ekonomi anda itu apa? Ya kami ini pasar sosial. Bayangkan, jaman dulu pasar dengan sosial berseteru, market economy dengan socialism, dengan ekonomi, sosial tidak pernah ketemu, kok jadi satu sekarang? Dikatakan, ekonomi kami ekonomi pasar sosial, socialism market economy.

Saudara-saudara,

Bagi yang mendalami pemikiran klasik Adam Smith, David Ricardo, John Stuart Mills, di satu sisi, di sana ada Karl Max, ada Friedrich Angles yang lebih modern ada Keynes, John Maynard Keynes, di sana ada Hayek. Tidak ada lagi ekstrimitas-ekstrimitas yang betul-betul dijalankan oleh bangsa-bangsa di dunia. Itu sudah luruh. Banyak sekali varian-varian. Saudara kenal ekonomi di Jerman, ekonomi di Swedia, welfare state, ekonomi kesejahteraan. Jadi saya kira mari kita keluar dari track, dari perangkat seperti itu yang menurut saya menahan kita untuk maju ke depan melakukan sesuatu yang paling tepat untuk bangsa dan negara kita.

Sehingga Saudara-saudara, menurut pendapat dan pemikiran saya, ekonomi Indonesia ke depan nanti, mestilah bersama-sama kita bangun, ekonomi berkeadilan sosial. Ekonomi terbuka tidak mungkin kita away dari kebersamaan dengan bangsa lain tetapi dipastikan bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat kita dan ekonomi yang harus sustainable karena kita harus ingat anak cucu dan masa depan kita. Itulah Indonesia kita Saudara-saudara.

Kalau kita lanjutkan sebagai akhir dari orasi ilmiah saya, lantas dunia kita seperti apa, bumi kita seperti apa, dua hal. Pertama, kalau kita membangun peradaban dunia abad 21, civilization in the 21st century. Pertama, masyarakat dunia harus bersama-sama menyelamatkan buminya dari ancaman climate change dan global warming. Yang kedua, menjadi tema dari orasi ilmiah saya ini, menjadi persoalan besar di dunia sekarang ini, perekonomian dunia yang diharapkan membawa kemakmuran bersama harus ditata kembali sehingga lebih aman, lebih stabil, dan memungkinkan semua pihak untuk mendapatkan benefit yang sama.

Itulah Saudara-saudara, orasi ilmiah saya dan akhirnya menutup dari semuanya ini, marilah kita sebagai bangsa terus bersatu, melangkah bersama, bekerja keras untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju di abad 21 ini. Insya Allah dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa kita akan sampai kepada Indonesia seperti itu. Terima kasih, selamat berjuang.


Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI