Sambutan Presiden RI pada Peringatan Hari Konstitusi dan HUT MPR RI Ke-66, Jakarta, 18 Agustus 2011

 
bagikan berita ke :

Kamis, 18 Agustus 2011
Di baca 808 kali

SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DALAM PERINGATAN HARI KONSTITUSI DAN HUT MPR RI KE-66

PADA TANGGAL 18 AGUSTUS 2011

DI GEDUNG NUSANTARA IV DPR/MPR JAKARTA



Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati, Saudara Wakil Presiden Republik Indonesia beserta Ibu Herawati Boediono,

Yang saya hormati, Saudara Ketua MPR RI beserta para Wakil Ketua, dan segenap Anggota MPR RI,

Yang saya cintai, para mantan Pimpinan MPR RI, hadir Bapak Haris Suhud, Bapak Hidayat Nur Wahid, juga hadir Bapak AM Fatwa, dan Ibu Mooryati Soedibyo,

Yang saya hormati, para pimpinan Lembaga-lembaga Negara, para Menteri dan Anggota Kabinet Indonesia Bersatu,

 

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

 

Kita bersyukur, pada hari ini, kembali memperingati Hari Konstitusi, sekaligus memperingati Hari Ulang Tahun Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Atas nama negara dan pemerintah, saya mengucapkan selamat memperingati Hari Konstitusi dan selamat ulang tahun  kepada Pimpinan dan segenap Anggota MPR RI.

 

Hadirin sekalian yang saya hormati,

 

Saya menyimak dengan seksama Pidato Bapak Taufik Kiemas, Pimpinan MPR RI, yang sangat penting untuk kita renungkan bersama, karena beliau mengangkat sesungguhnya satu pertanyaan penting: apakah sudah benar kita mengelola kehidupan bernegara ini? Apakah perjalanan Republik ini menuju ke arah sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik, oleh pendahulu-pendahulu kita? Dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan, pidato Pimpinan MPR RI tadi terasa tepat dan marilah kita renungkan bersama, untuk kita bisa ikut berkontribusi dan berpartisipasi secara aktif di dalam menjalankan kehidupan bernegara untuk membangun negeri ini menuju hari esok yang lebih baik. Sebagaimana yang tadi dibacakan oleh Ibu Melani Suhardi, kita ingin mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

 

Yang ingin saya garis bawahi, satu hal penting, barangkali yang kurang populer di era reformasi ini, yaitu tentang budaya musyawarah untuk mufakat. Itu adalah salah satu butir penting dalam Pancasila kita. Kita sudah lama menelaah mengapa dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, budaya musyawarah itu sering diperlukan. Consensus decision making itu sering sebuah cara yang paling tepat karena sesungguhnya bisa mencapai yang disebut dengan win-win formula, win-win solutions. Oleh karena itu dibanyak negara, dikenal pula consensus democracy. Sepertinya elusif tetapi dalam banyak praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu bisa dilakukan secara efektif. Marilah kita renungkan kembali apa yang sesungguhnya digagas oleh para pendiri Republik yang disebut tadi musyawarah untuk mufakat. Kita pernah punya semboyan, dengan musyawarah untuk mufakat, demokrasi yang kita jalankan, kita hendak menentang yang disebut dengan diktator mayoritas tapi sekaligus tirani minoritas. Saya kira, semangat itu masih tetap eksis di hati kita ketika kita ingin mengambil keputusan apalagi keputusan itu sangat fundamental karena menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

 

Musyawarah, consensus making atau consensus building itu, sering menjadi jalan yang paling baik. Musyawarah sebetulnya untuk memilih, untuk menemukan dan untuk bersepakat pada sebuah opsi. Yang kita pikirkan adalah opsi yang paling baik. Di situ memang ada proses kolaboratif. Pak Taufik Kiemas mengingatkan, bisa lebih lama dibandingkan dengan jalan voting atau pemungutan suara. Yang penting, kalau kita bermusyawarah hendaklah musyawarah dibuka, ruang itu tersedia untuk mendengarkan pandangan-pandangan dari pihak manapun yang ikut dalam mengambil keputusan itu sehingga akan terjadi sintesa, kira-kira pilihan seperti apa dan opsi mana yang terbaik. Bukan yang disebut dengan guided consensus atau command consensus, sepertinya bermusyawarah tapi sudah ditetapkan ini saja yang musti dihasilkan atau dimusyawarahkan. Tentu bukan itu yang dimaksudkan oleh para pendiri Republik, sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila kita. Voting atau pemungutan suara, memang tidak ditabukan dalam kehidupan demokrasi. Adakalanya masalah-masalah yang bisa dilakukan pemungutan suara, bisa dilakukan voting atau pemungutan suara itu.

 

Tetapi ingat, saya punya pendapat yang sama dengan yang mengingatkan, janganlah setiap isu harus diputuskan dengan cara voting. Dalam arti memang tidak semua isu atau opsi tepat untuk diambil keputusannya dengan pemungutan suara. Apalagi kalau itu menyangkut ketenangan, menyangkut sesuatu yang berkaitan dengan logika termasuk misalnya kita ingin merumuskan kandungan Konstitusi, Undang-Undang Dasar, sebuah sumber yang penting dalam kehidupan bernegara, alangkah tidak tepatnya kalau mengambil jalan pintas, agar segera bisa diketok palu, lantas materi-materi atau substansi yang fundamental itu begitu saja dilakukan voting. Konstitusi adalah milik rakyat, yang memiliki kedaulatan adalah rakyat, yang punya mandat sebetulnya juga rakyat. Oleh karena itu, untuk membuat konstitusi, dan untuk manakala diperlukan, mengapa konstitusi, hakikatnya rakyat musti dilibatkan. Jangan hanya karena keinginan elit politik. Apalagi dengan voting, lantas sebuah Undang-Undang Dasar begitu saja dilakukan perubahan-perubahan. Apalagi kalau voting itu tidak jernih untuk memilih opsi yang harus diambil pemungutan suaranya tetapi oleh kepentingan-kepentingan lain termasuk penyakit yang paling berbahaya dalam demokrasi adalah politik uang. Harus kita jauhkan benar-benar dari suasana seperti itu kalau kita ingin mengambil keputusan dengan metodologi voting. Saya mengajak, mari kita kembalikan dalam pengambilan keputusan ini mana yang sebaiknya dengan musyawarah, dan mana yang bisa dilakukan dengan cara voting kepada Pancasila, kepada Undang-Undang Dasar kita sendiri dan pada nilai kebenaran dan logika.

 

Hadirin sekalian yang saya hormati,

 

Bagian kedua atau bagian terakhir dari sambutan saya pada hari yang bersejarah ini adalah,  sebuah ajakan saya untuk juga melakukan refleksi atas perjalanan konstitusi kita. Kita harus memberikan hormat, penghargaan yang paling tinggi kepada para pendiri Republik, kepada para pendahulu dan para founding fathers kita. Karena Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kita peringati hari ini, sesungguhnya adalah merupakan cerminan dari pikiran-pikiran besar para pendahulu kita, idealisme mereka, dan itupun dimanifestasikan dalam Undang-Undang Dasar setelah melalui proses yang sangat arif, sebuah consensus building yang penuh dengan kebijaksanaan atau wisdom diantara para pendahulu dan pendiri Republik itu. Tentu saja Undang-Undang Dasar yang disahkan waktu itu amat dipengaruhi oleh semangat dan konteks zaman. Indonesia berada dalam suatu arus sejarah, dimana rakyatnya memiliki emotion yang tinggi terhadap kaum penjajah. Oleh karena itu, semangat dan  perasaan anti penjajahan juga sangat berpengaruh bagaimana para pendiri Republik kita merumuskan Undang-Undang Dasar yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu. Kemudian dalam perjalanannya sebagaimana kita ketahui bersama, ada proses sejarah, pernah, setelah itu kita menganut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, kemudian Undang-Undang Dasar Sementara, dan kemudian melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli tahun 1959 kita kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

 

Sekian puluh tahun kemudian, ketika Indonesia mengalami perubahan yang dramatis dan kita melakukan reformasi nasional, maka bangsa ini melalui wakil-wakilnya melakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945 yang sejarah telah mencatat terjadi empat kali perubahan atas Undang-Undang Dasar kita dan sebagaimana suasana kebatinan pada tahun 1945, waktu itu 1998, 1999, 2000, 2001, 2002, 2003 katakanlah kita memiliki semangat termasuk emotion atau emosi dalam arti yang positif untuk melakukan koreksi besar terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan yang kita anut. Kebetulan ketika kita melakukan reformasi secara besar-besaran di negeri ini, pada tingkat global juga tengah berlangsung sebetulnya, gelombang demokratisasi. Oleh karena itu, sejarah juga mencatat bahwa perubahan empat kali atas konstitusi kita yang dilaksanakan sekian tahun yang lalu itu juga tidak bebas pengaruh nilai dan praktik yang dijalankan oleh negara-negara lain yang katakanlah dianut secara universal. Itu sejarah, harus kita akui. Pelaku-pelakunya saya kira juga banyak yang berada di ruangan ini. Dan, kalau kita ingin menelaah sebagai sebuah refleksi, saudara-saudara, apa sebetulnya hakikat perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan sebanyak empat kali itu.

 

Pertama, dan yang paling utama adalah mengurangi kekuasaan Presiden, baik masa jabatannya maupun kekuasaan-kekuasaan lain yang dulu banyak yang dilaksanakan secara sepihak, unilateral, dan kemudian dikoreksi harus melibatkan lembaga-lembaga lain, baik berupa persetujuan ataupun pertimbangan. Jadi esensi yang pertama merampingkan, melucuti dan mengurangi kekuasaan Presiden. Yang memang kekuasaan seseorang tidak boleh terlalu absolut dan itulah semangat yang muncul waktu itu.

Yang kedua, intinya adalah ingin sungguh menghidupkan checks and balances, karena itu roh dari demokrasi.

Yang ketiga, dirasa perlu mengembangkan kelengkapan lembaga-lembaga negara. Muncul lembaga-lembaga negara baru yang dulu belum ada di dalam konstitusi yang lama atau sebelum dilakukan perubahan.

Yang keempat, memperkuat hak-hak rakyat. ada sepuluh pasal baru yang disebut dengan Hak Azasi Manusia, yang diadodpsi dari the Universal Declaration of Human Rights di dalam Undang-Undang Dasar kita, dan

Yang kelima atau yang terakhir, kalau kita telaah perubahan itu, ingin memperjelas pasal-pasal, butir-butir dari Undang-Undang Dasar yang konon bisa ditafsirkan berbeda-beda karena salah satu kekuatan konstitusi tidak boleh ada pasal-pasalnya yang bersifat multi tafsir.

 

Semuanya itu kalau kita jujur pada sejarah, juga berada dalam sebuah semangat dan emosi yang kuat  untuk melakukan perubahan yang lebih fundamental. Dorongan atas itu semua kita catat dalam sejarah kita. Lahir kemudian sejumlah Undang-Undang, banyak sekali Undang-Undang yang lain hanya dalam periode lima tahun. Muncul pula banyak komisi, komisi-komisi independent, karena dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan kepada eksekutif yang konon di waktu yang lalu memiliki kekuatan yang besar, yang berlebihan sehingga checks and balances nampaknya bukan hanya diantara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tapi juga ada lembaga lain to check, untuk mengontrol kekuasaan-kekuasaan. Itu semua sudah menjadi bagian dari sejarah kita.

 

Inilah konstitusi kita, yang kita anut sekarang ini. Terhadap itu semua, pesan moral dan pesan politik yang kiranya patut diangkat, karena itu merupakan proses yang ditempuh oleh bangsa kita, oleh kita semua, mari kita jalankan dan kita laksanakan sungguh-sungguh Undang-Undang Dasar 1945 ini. Jangan ada pikiran-pikiran lain kecuali mari kita laksanakan Undang-Undang Dasar itu. Itulah yang dinamakan dengan konstitusionalisme. Itulah yang disebut dengan kesadaran dan kewajiban berkonstitusi. Barangkali ada yang mengatakan; ada yang tidak pas, ada yang belum pas dalam Undang-Undang Dasar kita, menyangkut butir-butir tertentu, menyangkut pasal-pasal tertentu, bisa jadi. Tetapi, kalau ada seperti itu, maka rakyatlah, kita semua, tidak boleh hanya orang seorang, satu dua kelompok, yang harus betul-betul memikirkan dan menelaah dengan tenang, dengan jernih, dengan rasional dan tidak emosional. Amat berbahaya kalau kita ingin melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar tetapi tidak dipikirkan baik-baik, tidak jernih, tidak tenang, tidak rasional, apalagi dibayang-bayangi untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang sesungguhnya belum memiliki urgensi yang tinggi untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar. Ini penting, karena tidak baik sebuah Undang-Undang Dasar sering diubah-ubah, meskipun Undang-Undang Dasar negara manapun tidak pernah ada yang sempurna. Semua itu akan mengikuti perkembangan zaman manakala zaman meniscayakan sebuah perubahan, dilaksanakanlah perubahan itu. Jadi urgensinya harus betul-betul kuat dan itu sesungguhnya juga hasil dari pemikiran bersama yang melibatkan banyak pihak.

 

Saudara-saudara,

 

Itulah yang ingin saya sampaikan pada refleksi perjalanan konstitusi kita hari ini. Yang penting dan yang utama, saya mengajak sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang harus menjalankan Undang-Undang Dasar itu dengan selurus-lurusnya dan dengan sebenar-benarnya. Kepada seluruh rakyat Indonesia, sekali lagi mari kita jalankan konstitusi kita untuk memastikan bahwa negeri yang kita cintai ini, terus membangun diri menuju ke masa depan yang lebih baik dari masa sekarang.

 

Demikianlah saudara-saudara, sekali lagi, Dirgahayu Konstitusi Republik Indonesia.

Dirgahayu Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Sekian.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 


Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan

Kementerian Sekretariat Negara RI