Sambutan Presiden RI pd Penerimaan Penghargaan Jas Merah dan Peninjauan .., di Bali, tgl.7 Mei 2014

 
bagikan berita ke :

Rabu, 07 Mei 2014
Di baca 1040 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA

PENERIMAAN PENGHARGAAN JAS MERAH

DAN

PENINJAUAN THE SUKARNO CENTER

DI MUSEUM PROKLAMATOR  DR. IR.SUKARNO

TAMPAKSIRING, PROVINSI BALI,

TANGGAL 7 MEI  2014

 

 


Yang saya hormati para Menteri dan Anggota Kabinet Indonesia Bersatu II,

 

Saudara Gubernur Bali,

 

Yang saya cintai dan saya muliakan Ibu Sukmawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pembina the Sukarno Center,

 

Yang saya cintai President the Sukarno Center,  Saudara Dr. Sri I Gusti Ngurah Arye Wedakarna,

 

Yang saya muliakan para Pemimpin dan Pemuka Agama,

 

Bapak-Ibu, Hadirin sekalian yang saya cintai,

 

Om Swastyastu,

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

 

Alhamdulillah,  pada hari yang penuh makna  ini kita dapat hadir di sebuah tempat yang tentu memiliki kenangan besar,  atas sosok,  sosok besar dengan pemikiran yang besar,  dengan jasa dan pengorbanan yang sangat besar, Proklamator Kemerdekaan kita,  Presiden Republik Indonesia, bapak kita,  guru kita, yaitu Dr. Ir. Soekarno.  Bung Karno yang lekat padahati kita, pada pikiran kita,  dan insyaAllah akan berlaku sepanjang masa.

 

Pertama-tamatentu sayamengucapkan terimakasih  dan penghargaan kepada Ibu Sukmawati, kepada pimpinan the Sukarno Center, dan semua yang memiliki prakarsa ini untuk mengacarakan sebuah penghargaan yang disampaikan kepada saya. Dengan penuh kehormatan, rasa syukur, dan kebanggaan saya terima penghargaan itu, dan untuk saya dedikasikan kepada rakyat Indonesia yang harus terus mengenang dan meghormati jasa dan pengorban pahlawan bangsa kita, Bung Karno.

 

Ini kesempatan baik untuk saya dapat bercerita. Pada tahun 2001,100 tahun haul Bung Karno, saya masih menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Ada yang menyampaikan kepada saya, pertama Ibu Megawati, Presiden Megawati waktu itu, beliau bertemu dengan saya, mengatakan nanti akan ada Peringatan 100 Tahun Bung Karno,  bisanggak ikut memberikan sambutan peringatan itu. Saya katakan pada beliau, "Siap Bu". Setelah itu Mbak Rahmawati. Itu dalam kesempatan terpisah menyampaikan kepada saya," BisanggakMenkopolkam hadir bersama-sama saya nanti ada forum khusus 100 Tahun Bung Karn".  Kira-kira itu. Mengapa saya mengatakan iya? (Saya minta,... saya agak batuk, Bapak-Ibu, minta maaf sekali...minta maaf).

 

Karena sejak sayaSMP dan SMA saya rajin membaca buku tentang Bung Karno. Bahkan kemudian,  beberapa kali ada Peringatan 1 Juni,  Peringatan Pidato Bung Karno setiap tahun saya selalu dengan senang hati dan bahagia menyampaikan, bukan sambutan  yang sifatnya normatif, bukan sambutan yangbersifat protokoler dari seorang Presiden, tapi pandangan saya pribadi terhadap pikiran besar Bung Karno yang diabadikan pada momen yang penting tanggal 1 Juni 1945 dulu. Artinya apa?  Bukan karena saya menjadi presiden baru  saya menggali, mendalami, dan ingin sungguh memahami idealisime, cita-cita,  dan pikiran-pikiran besar Bung Karno, tapi saya katakan tadibahwa dari dulu saya memang mengagumi ini pemikiran yang melampaui zamannya, yang sampai sekarangpun masih relevan sebetulnya untuk kita jadikan tuntutan dan tindasan, landasandalam kehidupan bernegara di negara tercinta ini.

 

Ini cerita pertama mengapa Ibu-Bapak tadi mengatakan saya dianggap konsisten memandang Pidato 1 Juni, karena sejak remaja saya sudah membaca dan berkali-kali bukan hanya sekali,  waktu mendiang Pak Taufik Kiemas bertemu saya, Pak SBYkok kelihatan menguasai Pidato 1 Juni? Iya Pak, sudah lama saya membaca,  sejak SMP dan SMA dan sampai sekarang di rumah ada buku saya coretannya sudah  banyak saya garis bawahi stabilo tulisan-tulisan karena saya ingin sungguh memahami what is behind  big thinkingof Bung Karno waktu itu 1 Juni 1945,  yang setelah itu sejarah negara  kita berubah. Indonesia hadir dan hingga kini masih tegak berdiri.

 

Cerita yang kedua adalah, ini kisah yang unik juga. Pada 1995-1996, waktu itu saya masih berada di TNI, berpangkat Brigadir Jendral, saya mengemban tugas di bekas negara Yugoslavia yang dikenal sekarang ya,  bagian dari itu Bosnia Herzegovina. Saya menjadi Komandan Pengamat Militer PBB, Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tugas saya tentu datang ke daerah-daerah konflik, kadang-kadang menengahi pihak-pihak yang sedang berhadap-hadapan. Suatu saat saya dijadwalkan untuk datang ke perbatasan antara Kroasia dengan Serbia namanya Erdut. Nah yang memimpin seorang bintang satu, ingat saya namanya Mladonovic, orangnya nyentrik. Itu musim dingin saljunya tinggi, yang lain pakai jaket berlapis-lapis, dia pakai baju lengannya digulung, karena menunjukkan orang-orang jagoan ini. Orang semua tahu ini Jenderal, ini jagoan.

 

Pada saat saya datang, dingin dia.  Karena terus terang tidak semua suka dengan PBB, tidak semua suka dengan UN Peace Forces, termasuk Pengamat Militer. Tapi ya saya datang saja, saya memperkenalkan diri, saya Komandan Pengamat Militer yang baru, nama saya ini, itu, duduk biasa. Terus ngobrol, "Saya ingin dengar bagaimana perkembangan situasi di tempat ini". Ya biasa saja, nampak belum, ya biasa lah gitu, ketus sekali tidak, tetapi tidak ramah. Lama-lama nanya  saya, "Jenderal dari mana?" "Saya dari Indonesia" "Indonesia? Sukarno!" This is true story.

 

Rupanya ini Jenderal pengagum Tito. Nah, singkat kata, buahnya keluar, minum keluar. This is true story. Dan,  yang tadinya mungkin kita setengah jam, sampai lebih dari satu jam saya di situ. Jadi betapa Bung Karno kita,  nun jauh di sana tempat yang mungkin tidak semua orang Indonesia bisa menginjak tanah Yugoslavia, Beliau dihormati seperti itu.

 

Sayang sang Jenderal ini memang pemberani dan kadang-kadang tidak mau mendengarkan saran. Setelah bertemu dengan saya bersahabat. Selang berapa lama, katanya beliau pergi ke dalam, diingatkan, "Di sini banyak ranjau, di sana banyak ranjau". "Saya lebih tahu soal ranjaundak apa-apa". Akhirnya jalan, kena ranjau itu apa namanya Jeep beliau, mobilnya. Terlempar, masih belum apa-apa, jatuhnya kena ranjau lagi, dan di situ beliau gugurlah. Saya ceritakan adalah betapa nama Bung Karno seperti itu.

 

Yang ketiga, cerita lagi. Waktu kami,  saya dan istri hadir di Kamboja dalam ASEAN Summit dan diberikan waktu untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Raja Norodom Sihanouk. Kemudian kami datang di situ, Ibu Permaisuri, Ibu Agung,  juga ada di situ, terus saya dengan istri berdoa di hadapan jenazah Raja Norodom Sihanouk. Kami berdoa dengan khusyuk, terharu kami. Apa kata Ibu ini, Ibu Ratu Monineath, "He loves Indonesia very very much". Karena sahabat dekat Bung Karno. Jadi Ibu dalam keadaan seperti itu mengatakan kepada saya, "he loves Indonesia very very much".

 

Inilah pengalaman pribadi saya. Tentunya banyak lagi yang bisa saya ceritakan. Kalau berbicara tentang Bung Karno nggakhabis-habisnya, dua hari dua malam saya kira tidak selesai, banyak sekali. Tetapi begini, saya datang di samping berterima kasih atas semuanya ini, saya ingin menyampaikan beberapa butir penting dari pikiran besar Bung Karno utamanya Pidato 1 Juni,  karena saya anggap tetap relevan.

 

Yang pertama, kita pernah hidup dalam sebuah tarikan ideologi-ideologi besar dunia. Ingat dulu, ada kapitalisme, ada sosialisme, ada komunisme dengan segala konflik dan perang antarbangsa yang menyertainya. Adalah Bung Karno,  dan tentu ada sejumlah founding fathers. Benar bahwa kalau bicara Pancasila, bicara ideologi negara, bukan hanya karya Bung Karno, masih banyak, tetapi saya harus mengatakan Bung Karno is the first. Beliau lah yang sebetulnya kalau bicara Pancasila yang mesti dikenang oleh bangsa ini. Di situ, dengan cerdas dan arif Bung Karno, tentu dengan sejumlah pendiri Republik, mengambil pilihan sejarah yang sangat tepat bahwa Pancasila adalah pilihan bangsa Indonesia.

 

Oleh karena itulah, ketika tahun-tahun berikutnya lagi, 50-an, 60an, ada yang ingin mengganggu Pancasila, kandas semuanya. Reformasi kemarin 1998 muncul lagi, apakah Pancasila, apakah ideologi yang lain, ideologi yang lain kandas semua. Dan,  marilah yang di ruangan ini, saya menyeru kepada seluruh rakyat  Indonesia sampai kapan pun ideologi kita, falsafah kita, dasar negara kita, pandangan hidup kita adalah Pancasila.

 

Yang kedua, isu sensitif.  Indonesia itu mau menjadi negara apa? Negara agama? Negara Islam? Negara sekuler? Apapun. Itu juga pernah, keras. Ketika kita ingin memilih, tidak mudah waktu itu, tetapi Bung Karno, para pendiri Republik, dengan gamblang, tegas, dan jernih mengatakan,  Indonesia bukan negara agama, Indonesia bukan negara Islam. Tapi Indonesia negara yang berketuhanan, Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat Indonesia mestilah masyarakat yang religius, menghormati nilai-nilai agama, nilai budaya, dan kearifan lokal.

 

Tetapi, sekali lagi, Indonesia bukanlah negara agama. Meskipun mayoritasnya Islam, bukanlah negara Islam. Ini harus kita jaga. Saya khawatir ketika ada perubahan, pergolakan, masih ada pikiran-pikiran baru yang seolah-olah ingin menghidupkan kembali negara kita sebagai negara agama. Ini sudah final, dan itu warisan penting dari pemikiran besar Bung Karno dan para pendiri Republik yang lain. Itu yang kedua.

 

Yang ketiga, kita hidup dalam era globalisasi, universalisasi, global village dengan segala dinamika, tantangan, dan permasalahannya,  Bung Karno lah  pada tanggal 1 Juni 1945 yang saya katakan berpikir melampaui zamannya. Orang barangkali belum berpikir kesitu, beliau sudah berpikir kesitu. Mengapa harus ada konflik antara rasa kebangsaan,  nasionalisme dengan wawasan keduniaan atau internasionalisme? Tidakkah itu bisa jalin-menjalin, bisa hidup secara harmonis? Itu ada dalam Pidato 1 Juni.

 

Oleh karena itu, tidak perlu kita lelah, bangsa ini untuk mengatakan bahwa nasionalisme tidak kompatibel dengan dunia yang mengglobal seperti ini. Atau sebaliknya, globalisme itu selalu membawa malapetaka bagi negara kita. Berpikir kita harus jernih. Nilai-nilai yang tidak baik dari dunia jangan pernah masuk, kita  cegah, kita hambat. Tetapi teknologi, hal-hal penting yang bisa memajukan bangsa ini, ya  tentu bisa kita adopsi. Sebagaimana Bung Karno, tidak perlu ada konflik antara nasionalisme dan internasionalisme. Tetapi saya tidak  setuju kalau ada orang Indonesia, "Ahndak penting nasionalisme, ah itu apa, sudah usang, itu kuno". Salah! Andaikata kita hidup dalam perkampungan global, kita harus punya rumah. Rumah kita ini ya Indonesia ini, ya kebangsaan kita ini, dengan segala nilai-nilainya. Ini yang ingin saya ingatkan bahwa Bung Karno mengatakan jangan pernah ada konflik yang tidak perlu dan dipertentangkan habis-habisan antara nasionalisme dan internasionalisme. Silakan dibaca sendiri Pidato 1 Juni.

 

Kemudian yang keempat. Kalau kita ikuti pergolakan dan perdebatan para founding fathers dulu,  ada Bung Karno, ada Bung Hatta, ada Soepomo, ada M.Yamin, dan Dr. Radjiman, semua saya baca berkali-kali di situ. Memang debatnya dulu, konsep bernegara kita ini apa? Apakah yang kita utamakan manusia sebagai individu atau bangsa, negara sebagai satu entity? Dengan debat yang panjang tanpa mengerdilkan arti manusia sebagai individu, maka dipilihlah yang diutamakan bangsa. Oleh karena itulah, Pembukaan UUD 1945, nampak di situ, proklamasi kemerdekaan juga nampak di situ, "Kami bangsa Indonesia". Sedangkan Pembukaan dari Declaration of Independence of the United States of America, "We the people", manusia. Ini bangsa. Jadi negara yang majemuk, amat beragam, yang punya akar perbedaan yang juga luar biasa, diikatlah menjadi "Kami bangsa Indonesia". Apakah lantas the people,  kemanusiaan dipinggirkan? Tidak.  Dalam Pancasila juga ada, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Ada juga chapter dalam pembukaan, dalam  UUD 1945 yang juga tidak meninggalkan harkat kemanusiaan yang harus kita junjung tinggi. Jadi di situ konsep bernegara kita clear, bangsa yang kita utamakan, bukan individu, meskipun individu juga punya kemerdekaan, punya right, punya tempat yang mulia, dengan mengabadikan dalam sebuah sila "Kemanusiaan yang adil yang beradab". Beradab dalam arti civilized, tidak boleh ditindas, tidak boleh diberangus hak-haknya. Tapi ingatlah, ketika kita bicara Indonesia, rumah besar ini, bangsa yang kita utamakan untuk terus tumbuh dengan baik.

 

Kemudian yang keempat, yang kelima atau yang terakhir, sekali lagi kalau saya harus berbicara bisa tiga jam, karena nggak habis-habisnya ini. Tentang demokrasi, yah demokrasi ini memang sesuatu yang menjadi perhatian masyarakat dunia, termasuk bangsa kita sendiri. Pidato 1 Juni juga gamblang sebetulnya. Setelah itu, perbincangan di kalangan bangsa juga jelas. Demokrasi itu kan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Dengan demokrasi yang ingin kita capai adalah kebaikan bersama, the common good of the people. Bicara demokrasi, tujuan akhirnya bukan freedom, bukan election, tetapi dengan demokrasi akhirnya kita mencapai the common good of the people,  untuk kebaikan rakyat Indonesia, bangsa Indonesia. Demokrasi harus hidup berdampingan secara damai dengan nilai-nilai lokal, local wisdom, local culture, local values. Nah, kalau kita bicara localities of indonesia, bangsa yang majemuk, agamanya berbeda-beda, etnisnya berbeda-beda, sukunya berbeda-beda, dan sebagainya.

 

Maka jiwa dari demokrasi sebetulnya konsensus, consensus building, mufakat, musyawarah. Tidak ada the winner takes all, "Saya, kalian ndak usah", bareng-bareng, bersama-sama, gotong royong. Itulah the values of our democracy. Bukan berarti pemungutan suara ditabukan, tetapi jangan sampai semua urusan di negeri ini harus pemungutan suara. Dengarkan dengan baik pandangan dari semua pihak if it could build consensus, itu yang semua ikhlas karena konsensus. Tapi kalau voting, selalu dengan pemungutan suara, ada yang luka. Apalagi oleh pemungutan suaranya belum tentu benar, tambah dalam lukanya. Tapi kalau kita tidak meninggalkan semangat untuk take and give, saling memberi dan menerima, consensusbuilding, compromise, musyawarah dan mufakat, indah betul demokrasi ini.

 

Dan,  masa akan terus berjalan, zaman berputar silih berganti, kalau nilai-nilai yang saya sampaikan ini kita pedomani dan kita terus aktualisasikan,  sehingga bisa menjawab tantangan setiap zamannya, maka kita menghormati Bung Karno. Jadi menghormati pemimpin besar kita Dr. Ir. Sukarno. Bukan hanya menghormati what have been done by this great leader,  tapi bagaimana pikiran-pikiran beliau yang relevan yang dapat kita aktualisasikan untuk kita aktualisasikan, mari kita aktualisasikan menjawab persoalan zaman yang terus berkembang.

 

Itulah yang ingin saya sampaikan. Dan sekali lagi, terima kasih atas kepercayaan kepada saya. Ini tahun terakhir bagi saya memimpin negeri ini, tinggal enam bulan kurang. Semoga negara kita makin baik. Semoga pikiran dan nilai-nilai seperti ini terus hidup di kalangan rakyat Indonesia. Dan kalau kita bisa berkontribusi, semua marilah kita berkontribusi untuk kebaikan negeri kita. Indonesia yang makin damai, Indonesia yang makin maju, Indonesia yang makin adil, dan Indonesia yang makin sejahtera.

 

Terima kasih atas perhatiannya.

 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Om shanti shanti shanti om.

 

Sekian.

 

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI