di Alun-alun Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat sore,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Yang saya hormati para menteri yang hadir, hadir bersama saya Pak Menteri ATR BPN (Agraria dan Tata Ruang Indonesia dan Badan Pertanahan Nasional), Bapak Menteri PU, Bapak Menteri Kesehatan, Pak Gubernur Jawa Tengah, Bupati Wonosobo, Bapak/Ibu sekalian penerima sertifikat yang saya hormati.
Dari pagi subuh tadi, saya, subuh nggih setengah gangsal, lima kurang seperempat berangkat menuju ke Airport Halim, nggih. Sampai di Solo jam tujuh, jam tujuh sampai di Solo. Dari Solo ke Salatiga ada satu, dua, tiga acara. Dari Salatiga menuju ke Magelang, mboten Wonosobo, sek. Dari Salatiga menuju ke Magelang. Dari Magelang ada acara dua, tapi di Muntilan agak jauh hampir mepet ke Jogja, balik lagi ke Temanggung. Temanggung ada acara, baru ke sini. Yang menyebabkan terlambat, di jalan penuh orang.
Di sini tadi sudah di Wonosobo sendiri mau masuk ke kota saja sulit, mobilnya sulit. Orang di jalan banyak sekali, jadi telat, di sini saja telat 15 menit. Harusnya mobil bisa lancar enggak bisa berjalan, sehingga mobilnya didampingi Paspampres. Pelan, pelan, pelan, pelan, pelan, pelan , setengah lima dari istana sampai di Wonosobo sekarang jam lima seperempat. Itulah tugas harian yang selalu saya emban, karena apa? Karena negara kita ini negara besar, jangan berpikir negara kita Indonesia ini kecil. Gede. Penduduknya saja nomor empat di dunia, ekonomi kita ini masuk sekarang ke 16 besar.
Coba panjenengan bayangkan, banyak negara itu hanya satu daratan, satu daratan, kita itu 17 ribu pulau. Setiap pulau memerlukan pelabuhan, memerlukan listrik, memerlukan sekolah, memerlukan puskesmas, memerlukan rumah sakit, pulaunya yang agak gede memerlukan airport. Panjenengan bayangkan, betapa sangat tidak mudahnya mengelola negara ini. Sukunya bermacam-macam, 714 suku. Bahasanya berbeda-beda, bahasa daerahnya ada 1300-an. Negara lain tidak seperti itu beragamnya, daratan satu nggih kan, airport-nya dibuat empat cukup. Kalau di Indonesia di pulau yang agak besar tidak dibuat airport, pas gelombang tinggi mengandalkan pelabuhan laut, begitu gelombangnya tinggi sudah logistik, beras dan lain-lain nggak bisa masuk ke pulau itu, pripun? kelaparan,nggih. Oleh sebab itu, inilah yang mungkin Bapak-Ibu sekalian bisa bayangkan, kalau tinggalnya di Wonosobo enggak memikirkan ada gelombang tinggi atau … Nggih kan mboten wonten gelombang mriki, ombak niku lho, ombak nggih, nggih. Ah, itu Indonesia.
Saya pernah terbang dari Aceh ke Papua, Aceh-nya di Banda Aceh, Papua-nya bukan di Jayapura, tapi di Wamena, memakan waktu 9 jam 15 menit naik pesawat. Bayangkan kalau naik kapal, berapa minggu. Itu kalau terbang dari London, saya hitung ke timur, ke timur, ke timur sudah melompati tujuh negara. Jadi, negara ini negara besar sekali. Kulo mikir negoro nggih mboten gampang, awake nganti kuru, nggih.
Sekarang urusan sertifikat, panjenengan mpun nampi sedanten nggih? Coba diangkat saya pengin lihat, betul-betul sudah terima belum. Saya ingin memastikan bahwa BPN Kabupaten Wonosobo, Kanwil BPN Jawa Tengah, sudah menyampaikan kepada Bapak-Ibu sekalian, ya. Sebentar saya hitung dulu 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,…5.000 betul. Mpun, asli berarti hari ini di terimakan.
Bapak/Ibu bisa bayangkan ya [tahun] 2015, harusnya itu ada 126 juta, 126 juta sertifikat yang harus sudah dipegang oleh masyarakat, karena ada 126 juta bidang tanah di Republik Indonesia ini, di negara kita ini. Dan, saat itu baru yang dipegang ternyata, setelah saya suruh hitung, yang 126 juta yang sudah dipegang masyarakat berapa? Ternyata baru 46 juta, artinya ada 80 juta masyarakat yang memiliki lahan tanah, tapi tidak pegang sertifikat, sehingga yang terjad apa? Sengketa di mana-mana, konflik tanah ada di mana-mana, ramai antartetangga, ramai antarsaudara, ramai masyarakat dengan pemerintah, ramai masyarakat dengan perusahaan teng pundi-pundi.
Saya itu kalau ke desa, ke daerah, suaranya itu yang saya terima 2015. Terus saya cek ke BPN, berapa sih setahun bisa menyelesaikan sertifikat, kurangnya kan 80 juta? Setahun ternyata hanya bisa menyelesaikan 500 ribu sertifikat. Artinya Bapak-Ibu kedah nenggo harus nunggu berapa tahun? 160 tahun. Nggih mboten? 80 juta setahune mung gangsal atus ewu, 160 tahun Bapak-Ibu baru bisa menerima sertifikat ini, nggih kerso? Ingkang kerso angkat tangan, saya beri sepeda. Nunggu 160 tahun dapat sertifikat, silakan maju saya beri sepeda, nggih.
Itulah kenapa saat itu saya perintahkan kepada menteri BPN, enggak mau tahu caranya saya minta saat itu langsung melompat menjadi 5 juta [sertifikat], melompat menjadi 7 juta [sertifikat], melompat menjadi 10 juta [sertifikat]. Dan, saat ini yang sudah selesai berapa Pak Hadi, sampai akhir 2023? Rp110 juta sertifikat yang sudah selesai. Niku sing jenenge kerjo, nggih? Niku sing jenenge kerjo. Cek, saya cek setiap minggu, setiap bulan, berapa keluarnya. Coba nunggu 160 tahun, nggih. Sekarang sudah pegang sertifikat semuanya, dilihat cek di sini ada nama pemegang hak karena sertifikat adalah tanda bukti hukum hak tanah yang Bapak-Ibu miliki. Di sini juga ada luasnya berapa, di surat ukur ada luas lahan berapa, semuanya, ada semuanya. Jangan sampai keliru nama, jangan sampai keliru luas, nggih.
Yang kedua, biasanya kalau sudah pegang sertifikat, biasanya ingin disekolahkan. Kulo niku ngertos mawon. Neng nggih mboten sedanten, nggih. Hati-hati kalo mau meminjam uang dengan agunan sertifikat, dengan jaminan sertifikat, hati-hati. Tolong dikalkulasi tenan, dihitung sing teliti, jangan mikir pas dapatnya, tapi berpikirlah saat nyicilnya, saat nyaurnya setiap bulan, ngoten, nggih. Jadi kalau mau luasnya gede lahannya mau pinjam, waduh mau pinjam Rp500 juta dapat, sama bank ya diberi wong bunganya gede kok, ngoh Rp500 juta. Enak pas nompo Rp500 juta penak, saya pernah merasakan, kok. Ya, pernah merasakan saya. Rp500 juta, pulang, Rp500 juta tanpa perencanaan mau dipakai apa uang itu, apakah mau dipakai investasi mesin atau mau dipakai modal usaha atau mau dipakai modal kerja, kedah dihitung. Rp500 juta itu berarti nyicilnya setiap bulan berapa, pokoknya berapa, sama bunganya berapa, dihitung semuanya. Kalau punya usaha, bisa ndak? Untungnya Rp10 juta kok nyicilnya Rp20 juta, nah berarti enggak bisa. Untungnya Rp20 juta, nyicilnya Rp10 juta, oh, enteng, ngoten, nggih.
Jadi, jangan sampai Rp500 juta pulang besoknya pergi ke mall terus liat-liat ada mobil baru dijual. Nah, pertama dielus-elus wah apik banget iki mobile, tanya ke salesnya, “Berapa ini, Pak?” “Rp210 juta.” Wah, sisa banyak ini Rp500 [juta], nah, niku itu mulai mboten bener di situ. Pulang bawa mobil, nggih, bulan pertama iso nyicil, bulan kedua bisa nyaur, tiga, empat biasanya bulan keenam, nah itu baru. Kalau usahanya sudah, karena ini uang pinjaman harusnya dipakai semuanya untuk usaha, kalau nanti sudah bertelur, mendapatkan keuntungan baru keuntungan yang dipakai. Bukan pokoknya langsung dipotong dipakai untuk beli mobil, bubrah pun. Enggak bisa mengangsur bulan keenam, nah, mobilnya diambil, sertifikat nya juga diambil, oleh bank, pun. Nggih? Jadi saya hanya titip, bisa di sekolahkan, tapi hati-hati dengan kalkulasi, dengan perhitungan yang matang dihitung betul, nggih. Pinjam gede maupun pinjem enggak gede, pinjam kecil, sami mawon yen ora iso balike ya abot, nggih.
Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini. Saya masih ada satu acara lagi di Wonosobo. Nanti setelah dari Wonosobo enggak tahu jam berapa, nginep di Salatiga, karena besok ke Sragen, Purwodadi dan ke Blora, kemudian ke Semarang kembali ke Jakarta. Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan.
Yang hadir di sini satu saja. Ada yang hafal? Ini pasti dari rumah udah siap-siap ngapalke semua niki. Eggak papa, angkat tangan yang hafal pancasila, tapi saya tunjuk, baru maju. Sebentar, sebentar, sebentar. ya, yang paling belakang, yang hitam Pak, ya, ya, ya, ya nggih, monggo. Ibu-ibu ada yang hafal pancasila? Nggih, ibu-ibu jambon, nggih, nggih.
Langsung dikenalkan.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Nama saya Edi Samidin dari Desa Kerasak.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Pak Edi?
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Edi
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Pak Edi dari Krasak
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Iya, Pak Edi dari Krasak dari Kalibening Krasak Mojotengah, Wonosobo.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Langsung Pak Edi, satu. Pancasila, satu.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Ketuhanan.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Bentar, bentar dari awal. Pancasila, satu.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Pancasila.
Satu, ketuhanan yang maha esa. Dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, persatuan indonesia. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Terima kasih. Grogi, Pak, maaf.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Ibu-ibu nggih, panjenengan lenggah teng meriku, gampil, kelihatannya mudah begitu naik panggung deket dengan saya blank hilang kabeh. Itu enggak sekali, dua kali, nggih pun matur nuwun
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Sepedanya mana, Pak?
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Nggih, meniko.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Edi Samidin)
Terima kasih, semoga Bapak Joko Widodo selalu sehat, berkah, barokah, amin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Monggo Bu, tepangaken.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Dewi Purwanti)
Perkenalkan nama saya Dewi Purwanti dari Sendangsari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Nggih, nenggo riyen, nenggo Mas Edi seneng banget. Mas Edi, nggih sepedanya niku jangan ditukar mobil. Itu yang mahal bukan sepedanya tapi tulisanya itu le “Sepeda hadiah Presiden Joko Widodo” yang mahal itu bukan sepedanya, nggih.
Tepangaken, Bu.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Dewi Purwanti)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, perkenalkan nama saya Dewi Purwanti dari Desa Sendangsari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Pak.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Bu Dewi dari?
Perwakilan Penerima Sertifikat (Dewi Purwanti)
Sendangsari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Dari Purworejo?
Perwakilan Penerima Sertifikat (Dewi Purwanti)
Ya, Purworejo.
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Oh nggih, tepi sanget nggih. Langsung, Pancasila.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Dewi Purwanti)
Satu, ketuhanan yang maha esa. Dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, persatuan indonesia. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia,
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Pun.
Perwakilan Penerima Sertifikat (Dewi Purwanti)
Dapet sepeda nih, Pak?
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo)
Dapet, masa Mas Edi dapet, panjenengan mboten pikanto, senenge. Loh, teng pundi lenggahe meriko tho mau? Lenggahe meriko, nggih, nggih, nggih, lho mriki ngoten, kok. Nah, leres mpun saking senenge menggok keliru terus, nggih.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini, terima kasih. Saya tutup.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.