Sambutan Presiden RI - Pembukaan Konferensi Forum Rektor Indonesia, Yogyakarta, 29 Januari 2016

 
bagikan berita ke :

Jumat, 29 Januari 2016
Di baca 1017 kali

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PEMBUKAAN KONFERENSI NASIONAL FORUM REKTOR INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, YOGYAKARTA
29 JANUARI 2016




Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,
Selamat malam,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,
Yang saya hormati Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yang saya hormati Ketua Forum Rektor Indonesia beserta seluruh Pengurus dan Anggota Forum Rektor yang pada malam hari ini hadir,
Hadirin dan Undangan yang berbahagia,

Saya ingin mengingatkan kita semuanya karena banyak yang belum merasa bahwa kita sudah masuk pada era kompetisi, era persaingan, dan bukan hanya Masyarakat Ekonomi ASEAN saja (ASEAN Economic Community), bukan hanya itu. Kalo Bapak-Ibu lihat di gambar, kepala negara/kepala pemerintahan di ASEAN bergandengan seperti itu.

Tapi, kalo kita lihat secara dalam, mereka itu adalah bukan teman, melainkan pesaing-pesaing kita. Banyak orang lupa itu sehingga saya perlu ingatkan. Gambarnya memang seperti itu. Tapi yang bener adalah mereka adalah pesaing-pesaing kita.

Inilah era kompetisi. Inilah era persaingan. Ini baru yang namanya kita masuk ke Masyarakat Ekonomi ASEAN. Padahal ada blok yang lain. Bloknya Amerika, TPP (Trans Pacific Partnership), sudah masuk kita. Hanya kita belum memutuskan. Ada RCEP, bloknya China, sudah ada. Hanya kita mau masuk atau tidak. Ada ITA EU (Uni Eropa), sudah ada.

Hanya kita dari dulu tidak pernah mengalkulasi, masuk atau tidak masuk. Dalam waktu yang sangat dekat, akan saya putuskan kita masuk atau tidak masuk, tapi dengan kalkulasi, dengan perhitungan yang detail, apa untungnya, apa ruginya.

Tapi yang jelas, kalo kita enggak masuk, saya berikan contoh TPP, kita enggak masuk blok Amerika, garmen kita, tekstil kita masuk ke sana kena pajak 15%, kena pajak 20%. Yang sudah masuk, Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunei sudah masuk semuanya, enggak kena mereka. Bisa bersaing kita? Enggak bisa, enggak akan bisa.

Waktu ketemu Presiden Obama, saya sampaikan bahwa Indonesia bermaksud akan gabung dengan TPP. Gitu saja, dalem negeri ramenya kayak gitu, padahal baru bermaksud, akan. Belum memutuskan lo karena saya enggak mau. Ini harus dihitung, ini harus dikalkulasi. Sudah rame.

Nah ini tugasnya perguruan tinggi mestinya, Pak Rektor, Ibu Rektor. Dikalkulasikanlah kita, “Pak, usulan kami, dari Forum Rektor Indonesia: Indonesia masuk. Kalkulasinya ini.”

Jangan, belum kalkulasi, sudah ngomong, “Rugi. Enggak dapet untung. Pasar kita akan dikuasai mereka.” Lo produknya apa dari Amerika ke kita itu yang mau menyaingi produk-produk kita? Wong produk mereka kan produk-produk yang kita tidak memproduksi.

Tapi yang lebih baik dikalkulasi. Tapi, kalo saya, enggak akan berlama-lama. Ini harus cepat diputuskan, ya atau tidak iya. Kalo ‘ya’, apa yang perlu kita perbaiki. Kalau ‘tidak ya’, apa yang perlu kita perbaiki. Dua-duanya ada risiko.



Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Memang sekarang kita sudah masuk pada era itu. Apa yang harus kita persiapkan? Produktivitas, etos kerja, daya saing, ini yang harus kita pegang. Efisiensi, itu yang harus kita pegang. Tidak bisa lagi kita dengan pola-pola lama. Tradisi-tradisi lama masih kita pake, enggak bisa. Begitu kita salah memutuskan, dan kita tidak masuk pada produktivitas, pada etos kerja, pada daya saing, pada efisiensi, kita bisa jadi pecundang, dan sulit memenangkan kompetisi itu.

Inilah perubahan karakter yang harus kita lakukan. Dengan apa? Dengan sistem, membangun sistemnya. Banyak orang yang enggak percaya. Dulu BKPM, Bapak-Ibu, ngurus izin bisa enam bulan, bisa tujuh bulan, bisa delapan bulan, bisa setahun. Enggak jelas.

Saya perintah setahun yang lalu. Saya minta semua kementerian masuk ke BKPM izin-izinnya. Ada yang siap, ada yang belum siap karena itu menyangkut “kue”—saya tahu—sehingga ada yang maju mundur, maju mundur karena “kue”-nya hilang. Udah, kita blak-blakan saja. Saya paksa. Kalo saya minta, enggak mungkin enggak akan. Ini perintah. Enggak tahu. Kalo udah perintah, beda.

Akhirnya 21 kementerian masuk semua ke BKPM. Masuk dulu, enggak apa-apa. Masih izin, masih seperti itu ya oke, tapi yang penting masuk dulu.

Ini, sekali lagi, ini mengubah mentalitas, ini mengubah karakter yang tidak mudah. Oleh sebab itu, sistemlah yang harus meng-handle ini.

Udah, berjalan-berjalan-berjalan. Ada yang maju mundur, maju mundur, ya boleh. Saya minta saat itu, saya minta izin selesai dalam waktu hari. Enggak mau bulan lagi saya bisa rampung. Ternyata enam hari selesai tahun yang lalu. Jangan, jangan ditepuki dulu.

Saya enggak mau enam hari, enggak mau. Tiga bulan yang lalu, saya perintah lagi, “Saya enggak mau urusan izin ini dalam hitungan hari. Saya enggak mau. Saya minta jam. Kalo kamu sistemnya enggak punya, saya yang akan siapkan. Saya ndak pinter programmer, aplikasi, dan lain, enggak tahu, tapi saya akan siapkan. Saya tantang.”

Ini Presiden ngurusi aplikasi, ngurusi program. Biar, enggak apa-apa. Ini memang awal-awal. Mungkin sampe tiga tahun ini, harus dilakukan seperti itu terus.

Tiga minggu yang lalu, muncul sistem di BKPM, dan Bapak-Ibu nanti bisa langsung ke sana tanyakan, karena sudah saya suruh dua orang pengusaha untuk cek, bener enggak itu. Sekarang sudah tiga jam selesai untuk delapan izin. Lha ini boleh tepuk tangan. Delapan izin selesai dalam tiga jam.

Artinya apa? Kita bisa. Ini masalah niat, ini masalah mau atau tidak mau. Inilah mengubah karakter, mengubah mentalitas sehingga kembali lagi kita mempunyai daya saing, kita mempunyai kecepatan dalam melayani, kita mempunyai produktivitas, kita ada etos kerja di situ. Kalo tidak, jangan mempunyai harapan kita memenangkan pertarungan ini, RCEP, TPP, ITA EU, Masyarakat Ekonomi Eropa.

Saya berikan contoh lagi, ngurus yang namanya pembangkit listrik. 70 tahun kita hanya bisa mencapai 53.000 megawatt, 53.000 megawatt selama 70 tahun. Sepuluh tahun kemaren, bisa mencapai 6.100 megawatt. Ini lima tahun—saya sampaikan kepada menteri—saya minta 35.000 megawatt. Angka ini saya dapatkan lewat perhitungan pertumbuhan ekonomi, kekurangan di industri, kekurangan di provinsi-provinsi dan kabupaten/kota, bukan awur-awuran, 35.000 megawatt.

Kelihatannya sangat sulit sekali karena memang hanya dalam kurun waktu lima tahun. Tetapi, setelah saya pelajari secara detail, problemnya apa sih, kenapa kita 70 tahun ini hanya dapat segitu, karena sekali lagi problemnya hanya dua di situ.

Yang pertama, izin yang terlalu banyak, 59 izin, untuk ngurus pembangkit listrik. Yang kedua, pembebasan lahan.

Ada menteri yang menyampaikan, “Enggak mungkin bisa mencapai target 35.000.” Saya sampaikan, “Itu mestinya tugasnya menteri. Saya tugasnya memberi target. Tugasnya menteri menyelesaikan itu.”

Kalo didetail, problemnya hanya dua: izin, pembebasan lahan. Setelah saya cek, izin ada 59 izin. Kita ini apa-apaan?

Saya ingin menginformasikan kepada Bapak-Ibu semuanya. Investasi di Dubai, Uni Emirat Arab, saya pernah membawa sendiri dokumen itu. Saya dateng ke sana dengan syarat-syarat, dateng ke Kantor Perekonomian, masuk ke satu meja, syarat dimasukkan. “Bapak pergi ke gedung sebelah, ke Kantor Notariat.” Saya ke sana, dicek lagi. Ngomong, “Bapak kembali ke meja yang tadi.” Saya kembali, izinnya sudah selesai enggak ada satu jam. Sudah bisa melakukan apa-apa.

Memang sistemnya dari Jerman setelah saya lihat, “Siapa sih yang buat?” Tapi kita juga bisa. Terbukti tadi.

Kembali ke listrik, 59 izin, lek digawe, Bapak-Ibu mau membangun pembangkit listrik, ada yang izin itu selesai tiga tahun. Saya baru denger, udah jengkel saya. Tiga tahun, izin tiga tahun. Eh datang lagi menginformasikan ke saya, “Empat tahun, Pak, belum selesai.” Jengkelnya sudah enggak kuat saya. Ada lagi dateng dari Sumatera Selatan, “Pak, Bapak lihat ini. Enam tahun, Pak, saya belum selesai. Saya sudah kapok, enggak mau ngelanjutin, Pak.”

Inilah, sekali lagi, mentalitas karakter yang harus diubah. Saat itu saya cek, “Berapa izin sih?” “59, Pak.” “Potong. Bulan depan saya minta separuh.” Alhamdulillah, lapor ke saya, ”Pak, sekarang tinggal 22 izin.” Sepertiga langsung dipotong, hilang.

Terus, “22 izin, masih banyak itu menurut saya. Enggak bisa tiga izin atau satu izin?” “Enggak bisa, Pak.” “Ya oke. Sekarang jawab ‘Enggak bisa’ enggak apa-apa. Ini mungkin bulan depan akan saya bedah lagi.

Terus selesai berapa hari kalo 22 izin?” “250 hari, Pak.” “Hampir setahun. Buat saya, masih sangat lama. Kalo enggak hitungan bulan, saya enggak mau.” “Iya, Pak, nanti kita pelajari lagi, nanti kita kaji lagi.” Senengnya kita kan mengkaji.

Perlu saya sampaikan juga bahwa kita ini mempunyai, kenapa sih ruwet semuanya, itu hanya urusan listrik, yang lain-lain? Ternyata kita mempunyai 42.000 aturan regulasi. Saya suruh ngitung semua kementerian. 42.000 aturan regulasi kita.

Ini aturan itu yang buat siapa sih? Kita sendiri. Lha kok buat aturan sampai segitu banyaknya? Untuk apa? Kan menjerat kita sendiri. Kita tidak lincah, kita menjadi tidak cepat.

Ini kembali lagi, inilah yang harus kita ubah. Ini masalah mentalitas yang nanti akan sulit kita membangun karakter dengan kondisi-kondisi seperti ini.

Kemarin saya dapat informasi lagi—ya ini mumpung Pak Menteri Dalam Negeri ada di sini—ini, belum saya perintah ini. Ada 3.000 perda yang bermasalah. Udah, cabut semuanya saja udah. Cepat-cepatan. Entah yang namanya tarif—kita menyusahkan rakyat—entah yang namanya perizinan yang ruwet, bertolak belakang dengan undang-undang yang ada, entah yang namanya, enggak tahu perda apa lagi, 3.000 perda dari 516 kabupaten/kota. Udahlah, enggak usah dikaji-kaji. Cabut langsung semuanya. Menyulitkan rakyat itu.

Kalo dikaji, itu setahun hanya dapat 15 paling banyak. Udah, mengkaji, mengkaji, mengkaji. Kalo mengaji, baik. Kalo mengkaji ini, sudah, udahlah. Semakin sederhana, semakin cepet kita. Semakin fleksibel, semakin lincah, semakin sigap kita.

Ini aturan segini banyaknya. 3.000, mungkin akhir tahun bisa, Pak Menteri, ya? 3.000 perda. Aduh. Enggak tahu, Pak Menteri, mungkin masih dikaji. Jangan dikaji lo, Pak Menteri! Tapi, kalo Pak Tjahjo Kumolo, cepet apa-apa.

Artinya apa? Memang kita memerlukan kecepatan dalam segala hal, kecepatan memutuskan, kecepatan merespons, cepet sekali karena dunia ini berubah bukan hari lagi, melainkan tiap detik, tiap menit, tiap jam berubah, berubah. Enggak jelas mau ke mana.

Dulu awal-awal kita takut dengan krisis Yunani, takut semuanya, “Waduh nanti berimbas ke Indonesia. Kita harus jaga ini, kita harus jaga ini.” Itu belum dijaga, muncul lagi depresiasi yuan. Waduh bingung lagi kita. Itu kita antisipasi, belum rampung, muncul lagi kenaikan suku bunga the Fed. Ini kita baru menurunkan BI rate kita, muncul lagi harga minyak yang anjlok, di bawah US$ 30 per barel.

Ini bukan hal yang main-main, hal-hal seperti itu, dari krisis Yunani, depresiasi yuan, kenaikan bunga the Fed, penurunan harga minyak yang begitu sangat cepat. Kalo mentalitas kita, bangunan karakter kita masih senang subsidi, masih senang kita dimanjakan oleh hal yang mengenakkan kita, menyamankan kita, berbahaya sekali dalam era kompetisi, berbahaya sekali dalam era persaingan.

Oleh sebab itu, saya ingin mengajak Forum Rektor Indonesia, jangan sampai perguruan tinggi—kata-kata ini bukan kata saya, ini kata-kata saya catet secara cepet, yang disampaikan Bu Rektor UGM, mungkin Bu Rektor enggak ngerti saya catet—supaya perguruan tinggi tidak hidup dalam lamunan sendiri.

Artinya apa? Bekerja untuk lingkungannya sendiri. Ini mungkin artinya seperti itu. Saya terjemahkan sendiri. Mungkin keliru. Artinya, kalo kita melakukan sebuah research, ya research itu harus bisa diimplementasikan di lapangan, bisa menuju lagi kemanfaatan ke masyarakat. Mestinya seperti itu, bukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk lingkungan di kampus sendiri. Saya terjemahkan mungkin ini.

Dan saat ini kita memang berfokus, prioritas kepada pembangunan infrastruktur karena kuncinya memang ada di situ. Udah saya sampaikan kepada semua menteri, jangan Java-sentris lagi, tapi harus Indonesia-sentris, baik pembangunan pelabuhan, pembangunan jalan tol, pembangunan jalur kereta api, pembangunan airport, ndak. Ketimpangan sudah terlalu lebar.

Bendungan Raknamo di NTT, coba kita lihat Bendungan Jatigede, ini sudah lebih dari 40 tahun enggak selesai-selesai. Hanya masalah apa? Masalah prosedur pemberian ganti rugi. Dulu sudah pernah diberi ganti rugi, tapi enggak pindah sehingga, kalo ini bayar lagi, katanya keliru. Kalo saya, ndak. Sudah habis triliunan, sudah diberikan lagi. Wong diberi ke rakyat sendiri saja, kok berpikirnya jauh-jauh sih, iya kan?

Urusan Lapindo juga sama, delapan tahun. Kalo saya, saya enggak pikir panjang-panjang. Ke saya, lebih dari 15 kali masyarakat di sana. “Udah, berikan.” “Lo kan ini bukan tanggung jawab kita, Pak?” “Ya sudah, istilahnya apalah, tapi yang diberikan rakyatnya lo. Nanti yang di sana suruh bayar ke kita.”

Saya suruh cek BPKP, “Gimana? Seperti itu bisa enggak?” Dikaji tiga hari. “Utang ke kita?” “Oh bisa, Pak.” Udah, putusin! Udah, bayar!

Ini kan persoalan rakyat. Bukan menyelesaikan Lapindo saya. Saya menyelesaikan persoalan rakyat.

Jadi konsentrasi kita ada di infrastruktur seperti ini. Saya berikan contoh: di NTT. Di NTT, sampai kapan pun juga, kemiskinannya pasti pada posisi merah. Karena apa? Ya mau ditanemi apa? Wong enggak ada air. Satu-satunya jalan apa? Ya air. Apa itu? Ya bendungan.

Saya dapet ini juga karena tanya rakyat, “Apa sih yang perlu dibangun di sini?” “Pak, kita butuh air, Pak.” Tanya yang lain. “Pak, kita butuh air, Pak.” Tanya yang lain. “Butuh air, Pak.” Itu perlunya kita ke lapangan ya seperti itu.

Makanya kita simpulkan, bangun bendungan. Dengan bendungan itu, dengan air itu, bisa nanam, mau nanam jagung, mau nanam ketela pohon, mau nanam padi, mau nanam sorgum, baru bisa. Tanpa itu, enggak akan, enggak akan bisa.

Jangan cemburu provinsi yang lain. Di situ kita bangun tujuh bendungan, yang lain paling satu atau tidak. Kenapa? Karena memang di sana butuh air.

Juga pelabuhan, kenapa kita bangun pelabuhan yang gede-gede? Kenapa kita bangun port? Ya itu konektivitas. Kalo itu enggak ada, ya transportasi kita akan mahal, biaya logistik kita akan mahal.

Ini, sekali lagi, ini daya saing, ini efisiensi. Biaya transportasi kita, biaya logistik kita, itu dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, 2-2,5 kali lipat. Mana bisa kita bersaing dengan posisi seperti itu? Enggak bisa.

Oleh sebab itu, kuncinya ya dibangun secepatnya, selesai secepatnya. Enggak ada cara yang lain. Bagaimana kita bisa menurunkan harga transportasi kalo kapalnya kecil misalnya? Ya mahal kapalnya kecil kalo kita sewa.

Pelabuhan yang di Makassar New Port, kemudian di Kuala Tanjung, di Sumatera, ya memang harus.

Bapak-Ibu bisa bayangkan. Di Wamena, itu harga pensil 70 ribu, harga semen 800 ribu. Itu baru di Wamenanya. Kenapa mahal? Karena diangkut dengan pesawat. Belum naik ke Puncak, belum Jayawijaya, belum naik ke Nduga. Semen 2 juta sampai 2,5 juta per sak. Beras 30 ribu. Betapa tidak adilnya kita.

Bagaimana saya tahu? Ya karena saya masuk ke mana-mana. Saya kadang, berjalan dengan mobil, berhenti. Saya mau tanya harga, ya saya tanya saja ke pasar. Nanti saya tanya menterinya, saya cross check, ”Oh ya betul.” Saya enggak mau diseneng-senengi. Itu kuncinya di situ.

Saat saya di Wamena, saya sampaikan, ”Udah, ini jalan harus ditembus. Tanpa ini, tanpa darat, ya enggak mungkin harga di sini, sampai kapan pun ya enggak akan. Dan saya minta tahun ini, akhir tahun ini, harus sudah tembus, udah.” Jadi Presiden enaknya ya perintah seperti itu. Iya saya perintah, “Saya mintanya tembus sudah tahun ini 240 km.” “Gimana, Pak?” “Sudah, gabunglah Kementerian PU dengan TNI. Dari sini semuanya gabung, buat hypersection. Selesaikan.”

Tiga hari mereka rapat, “Siap, Pak. Kita selesaikan. Siap.” “Bener-bener bisa tembus tahun ini?” “Tembus, Pak”.

Dan ternyata bisa kan, ternyata bisa. Nanti, kalo sudah tembus, ya semen langsung jatuh, pasti jatuh separuh atau seperempat, pasti. Saya pastikan kalo itu.

Oleh sebab itu, saya ingin mendorong perguruan tinggi untuk mengembangkan research serta hilirisasi yang kompetitif, menjawab kebutuhan-kebutuhan pasar, menjawab kebutuhan-kebutuhan industri, menjawab kebutuhan-kebutuhan persaingan dan kompetisi kita, yang saya tadi saya sampaikan.

Saya sangat menghargai, saya sangat mengapresiasi yang sudah melakukan hilirisasi, baik di agroindustri, kesehatan, farmasi, manufaktur, rekayasa, teknologi informasi, energi baru-terbarukan, dan seni budaya.

Tetapi, bertemu dengan beberapa peneliti, ada pupuk yang biofertilizer. Kemudian obat, ada paracetamol yang bisa, tinggal ini betul-betul produk yang memang tinggal diindustrikan, tinggal dilarikan ke usaha. Ini, hal-hal yang konkret seperti itu yang.

Ada ring jantung yang dibuat oleh kita sendiri. Kenapa kita harus impor kalo kita bisa melakukan itu? Dan sudah dalam bentuk barang jadi dan tinggal diperbanyak.

Saya kira memang hal-hal yang konkret, yang real seperti itu, seperti waktu bertemu dengan saya dulu, ibu rektor dari Universitas Hasanuddin, berbicara masalah badan usaha milik rakyat, BUMN, hal-hal yang seperti itu, yang dibutuhkan oleh rakyat itu. Ada konsepnya, ada implementasinya yang contohnya dibuat di sebuah daerah. Ya seperti itu. Jadi dilihat, kita lihat, “Oh bener.” Ya udah, kita besarkan, kita kopi di semua daerah. Hal seperti itu yang kita inginkan dari perguruan tinggi.

Ini, sekali lagi, ini kita mengadu cepat dengan negara lain, era persaingan, era kompetisi. Nanti saya minta research-research yang memperkuat inovasi, yang memperkuat daya saing bangsa harus terus dilakukan.

Dan perguruan tinggi juga perlu memperkuat manajemen yang responsif dan mampu untuk mencari pendanaan kreatif. Bisa saja kita temukan dengan Kementerian BUMN yang berkaitan misalnya dengan biofuel, biodiesel misalnya. Sudah, mungkin dengan Pertamina. Yang berkaitan dengan obat atau kesehatan, mungkin dengan BUMN kita, biar bisa cepet semuanya, dengan Kimia Farma, dan lain-lainnya. Saya kira banyak cara yang bisa kita lakukan asal memang hasil riset itu konkret, nyata, bermanfaat bagi rakyat, bagi negara.

Dan kita harapkan perguruan tinggi aktif bermitra dengan pemerintah, bermitra dengan BUMN, bermitra dengan dunia industri, dengan dunia usaha. Dan itulah yang kita harapkan ke depan.

Dan juga hal-hal yang berkaitan dengan daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah terdepan, daerah perbatasan, desa-desa, ini memerlukan dukungan dari perguruan tinggi, baik dalam memperbaiki manajemen mereka, baik dalam melakukan pendampingan, sehingga betul-betul kita bekerja dan bergerak bersama-sama, dan menghasilkan sebuah daya saing, produktivitas, etos kerja. Semuanya bisa berubah.

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan baik ini. Dan dengan mengucap ‘Bismillahirrahmanirrahim’, Konferensi Nasional Forum Rektor Indonesia Tahun 2016 saya nyatakan resmi dibuka dan dimulai.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
*****
Biro Pers, Media dan Informasi
Sekretariat Presiden