Sambutan Presiden RI pd Menerima Peserta PPRA LI dan LII Lemhanas RI, Jakarta, tgl. 18 Nov 2014

 
bagikan berita ke :

Selasa, 18 November 2014
Di baca 1114 kali

SAMBUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PADA

MENERIMA PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN REGULER ANGKATAN (PPRA)

LI DAN LII LEMHANNAS RI TAHUN 2014

DI ISTANA NEGARA, JAKARTA

TANGGAL 18 NOVEMBER 2014

 

 

 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Selamat pagi,

Salam sejahtera bagi kita semuanya,

 

Yang saya hormati para Menteri, Pak Gubernur Lemhanas, Panglima TNI, Pak Kapolri, KASAL, Pak KASAU, Pak Ketua KADIN, serta Ibu dan Bapak sekalian seluruh Peserta PPRA Angkatan LI dan LII.

 

Pertama-tama saya ingin menyampaikan selamat kepada Bapak-Ibu dan Saudara-saudara yang mulai bulan Februari yang lalu telah menempuh program PPRA LI dan LII di Lembaga Ketahanan Nasional, Lemhanas Republik Indonesia. Berarti berapa bulan ini? 7,5 bulan. Dan, saya tadi sudah mendengar apa yang disampaikan oleh Angkatan LI maupun LII. Ada mungkin beberapa hal nantinya yang ingin saya sampaikan yang berkaitan tadi yang disampaikan dari Angkatan LI yang, dan LII, baik yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, dan juga berkaitan dengan masalah transformasi di bidang demokrasi ekonomi kita.

 

Negara kita ini sumber daya alamnya sangat besar sekali, tetapi kalau boleh kita sampaikan, cara-cara pengelolaannya dikelola tidak dengan sebuah kalkulasi dan itung-itungan. Sehingga apa yang terjadi, dulu tahun 75, 80, 85, kita sebetulnya saat itu menikmati booming minyak, sangat besar sekali. Harusnya itu bisa menjadi sebuah pengungkit, membangun sebuah pondasi, dan mengokohkan ekonomi kita, tetapi tidak kejadian. Diulang lagi, kita mempunyai hutan yang juga dieksploitasi besar-besaran, dan itu juga sebetulnya kesempatan emas kita untuk meletakkan fondasi ekonomi kita bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Jarang sekali sebetulnya kalau dinilai dengan itung-itungan angka rupiah, tetapi juga tidak kejadian, itu menjadi fondasi besar kita, justru negara-negara yang sebetulnya secara sumber daya alam tidak punya, sudah melewati kita. Saya berikan contoh sekarang, kayak Singapur sudah terlalu jauh lewati kita. Apa yang dia punya? Menurut saya kuncinya Singapur itu di sumber daya manusianya, mereka betul-betul memperhatikan itu. Sekarang melonjak lagi yang sangat tinggi lonjakannya, sebuah quantum leap yang kalau itung-itungan dari luar itu sangat, betul-betul sangat menakjubkan, Tiongkok (Cina). Luar biasa, dari sebuah negara komunis yang tertutup, yang tidak, apa, yang berhubungan dengan negara yang lain, tau-tau buka langsung, kemudian dia melonjak dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Bisa 11%, bisa 12%, dan pembangunan di seluruh kotanya juga luar biasa, kita setaun tidak ke sana, ke sana sudah berubah, setaun lagi ke sana, berubah lagi.

 

Saya bertanya saat ketemu Wakil EKC, Wakil Partai Komunis Cina pada saat mereka membuka negaranya besar-besar untuk investasi asing. Saya tanya, "Apakah tidak takut penguasaan ekonomi, penguasaan investasi semuanya diberikan pada asing saat itu?" Ini masalah ideologi loh, dia komunis, yang akan masuk adalah kapitalis, apa jawabannya saat itu, "Tidak, tidak pernah sama sekali terbesit di otak kami bahwa investasi itu akan menguasai". Karena apa? Karena barangnya ada di negara mereka, dan barang itu nggak mungkin, misalnya investasi asing membangun pelabuhan, nggak mungkin pelabuhan itu dibawa lagi lari ke negara investor itu, nggak mungkin. Membangun jalan tol, nggak mungkin iya akan membawa lagi lari. Artinya yang namanya foreign direct investment, apa pun itu positif untuk sebuah negara. Mindset seperti itu, pola pikir seperti itu yang saya harus memberikan acungkan luar biasa. Ini ideologi, ini masalah ideologi loh. Kok bisa membalik seperti itu, dan investasi masuk semua ke sana. Akhirnya dalam waktu yang sangat singkat, semuanya bisa dikerjasamakan. Investasi dengan BUMN, yang banyak mereka memang mengandalkan BUMN, gabungin dengan BUMN, gabungin dengan BUMN. Akhirnya yang kita lihat seperti sekarang ini, cadangan devisa mereka sudah tidak bisa kita bayangin, semua uang yang beredar sekarang di dunia, dia yang menguasai, semuanya. Investasi hampir di semua negara, dia yang menguasai. Ini hanya, karena apa? Cara berpikir, mindset berpikir dan ideologi itu di ideologi negara itu ditarik dengan, dalam posisi yang bener.

 

Malamnya, ini malamnya waktu saya, saya kan masih ragu lagi, ini kok cara berpikirnya, padahal ini wakil ketua. Saya ketemu presidennya malam, ya siangnya ketemu runtang-runtung, karena nggak bisa ngomong banyak. Ketemu Presidennya malam, makan malam, saya jejer. Saya ingin ulang lagi pertanyaan, " Presiden Xi", ngga, Presiden XI Jin Ping, manggilnya Presiden Xi. "Boleh saya tanya? Beri tiga kunci sukses negaramu meloncat seperti ini, apa? Tapi jangan ditambah, tiga saja", kalau kebanyakan nanti kita pusing, iya, saya minta tiga saja, apa? Hampir mirip-mirip tadi yang disampaikan oleh Wakil EKC tadi. Yang pertama, beliau menyampaikan, partai yang harus bersatu, partai yang harus bersatu. Di mereka bisa, di kita? Itu yang sulit. Saya mikir, wah yang pertama ini yang sulit. Di dia bisa, di mereka bisa, di kita? Partai yang harus bersatu. Karena ini akan menguatkan negara. Yang kedua, apa? Yang kedua, punya gagasan besar, punya visi besar, punya mimpi besar. Artinya harus punya rencana jangka panjang, 50 tahun yang akan datang, 100 tahun yang akan datang, jangan berpikir 5 tahun atau 10 tahun. Saya lihat betul, saya lihat pelabuhan di Tian Jin, mereka mau berpikirnya tidak sehari, dua hari, setahun, dua tahun, 10 tahun, 20 tahun, mereka sudah merancang sampai 100 tahun. Rencananya ada, maketnya ada, di sini nanti akan dibangun apa tahun 2050, tahun 2100, ya sudah ada semuanya, plek, plek, plek. Siapa pun presidennya, ini terus berjalan. Mungkin lagunya berbeda-beda setiap presiden nggak apa-apa. Ada yang gayanya gaya rock nggak apa-apa, gayanya keroncong nggak apa-apa, gaya pop nggak apa-apa, tapi berjalannya plek, plek,plek, plek, sama semuanya. Yang di arah itu gagasan besarnya, rencana besarnya. Rampung, rampung, rampung, rampung. Tidak ganti presiden ganti acara. Itu yang kedua. Ada gagasan besarnya, ada visi besarnya, ada rencana besarnya.

 

Terus yang ketiga, Presiden Xi apa? Itu tadi, dua sudah, tiga apa? Kejar infrastrukturnya, connectivity antarkota, connectivity kalau kita ya antarpulau, itu harus, jangan ditunda-tunda. Terus duitnya dari mana dulu awal-awal saya tanyakan. Duitnya kamu cari terserah kamu, investasi dari mana, terserah, duit dari mana terserah, tapi jadikan, yang namanya infrastruktur. Dan terjadi connectivity antarkota dengan kota, provinsi dengan provinsi, pulau dengan pulau. Karena itu nanti yang menggerakkan ekonomi rakyat. Demi rakyatmu, percuma kamu perintah-perintah untuk nanem komoditas, tetapi membawa ke kotanya sulit, harganya jadi mahal, sehingga tidak kompetitif, nggak ada artinya. Dan ini bener memang connectivity itu betul, kalau kita connectivity antarkota dan antarpulau.

 

Yang sering saya berikan contoh, semen di Jawa 60.000, di Papua 2.500.000, mana yang di sana mau bangun. Itu yang luar biasa. Secara pemikiran-pemikiran besar seperti itu, yang kalau bisa kita adopsi, ambil. Infrastruktur dia pada awalnya tidak punya uang, tapi membuka investasi untuk masuk, silakan. Sekarang begitu dia punya uang, ya semuanya dia bayarin sendiri, ngapain pake orang lain yang duitnya sudah terkumpul banyak, saya dengar devisa mereka, nggak tau berapa puluh ribu triliun, gimana? Semua mereka danai sekarang, membuka ASEAN Infrastructure Investment Bank, ia danai 50%. 50% saya, yang lain udahlah bagi-bagi, 1000 triliun taroh. Duit kayak nggak ada angkanya gitu. Nanti negara-negara yang lain nggak apa-apa, berapa? 5%, 5%, 5%, 5%. Ya kita kadang-kadang juga negara yang lain dijatahnya 5% dia, tapi kalau dijatah banyak pun nggak bisa bayar. Itu, karena mereka udah punya kekuatan. Pola-pola revolusi mindset seperti itulah yang sebetulnya kita perlukan, revolusi pola pikir itu yang kita perlukan dalam perubahan global yang sangat cepat seperti ini nggak mungkin kita berpikir monoton, berpikir yang biasa-biasa, nggak mungkin kita akan, kedahuluan oleh negara yang lain.

 

Pertumbuhan ekonomi kita kalah sekarang ini, Viet Nam, Myanmar saya kaget juga, karena mereka mulai, mulai merombak sistem, mulai merombak kantor-kantor Kepresidenan, mulai merombak regulasi-regulasi, sehinga cepat dan sederhana. Tapinya pertumbuhan 7%, 8%, kaget juga kita. Kamboja yang nggak pernah kita anu, saya tanya, Presiden Hun Sen, berapa pertumbuhan di negaramu? 8%, tapi ini agak turun dikit jadi 7, aduh. Ini yang harus, ini yang harus mesti kita kerjakan. Jangan hanya kita ini berkutat-kutit, kutat-kutit urusan politik terus, habis energi kita di situ, padahal rakyat kita yang membutuhkan di desa-desa masih banyak sekali. Ini energi kita ini habis di situ. Sehingga visi besar, gagasan besar itu tidak cepat kita jalankan, karena hal-hal seperti itu. Saling mengejek, kita ini sekarang. Saling menghujat, saling menjelekan, saling, saling, saling, dan yang lain-lain. Ini menghabiskan energi, nggak bisa fokus ngarahkan darimana mau ke mana. Ya, kalau waktu saya sampaikan kepada kepala-kepala negara yang lain, mereka sebetulnya sangat kaget dengan posisi kita. 17.000 pulau saya sampaikan, kemudian bentang antar-Barat dan Timur seperti London sampai di Istambul, 2/3 wilayah kita laut, ini kekuatan yang besar sekali, tapi connectivity antarpulau itu yang harus disambungkan.

 

Kemudian kekayaan laut kita, tadi sudah disampaikan juga, ikan itu luar biasa banyaknya. Ada kapal sekarang ini, kemarin sudah dihitung oleh Bu Susi, Menteri Kelautan dan Perikanan kita, tiap hari ke laut terus, ngga pernah pulang. Ia lapor ke saya, "Pak, kemarin kita ngejar Pak, yang illegal fishing di sebelah utara Kalimantan sebelah sana. Ketangkep, ketangkep berapa?" "Ketangkep empat Pak, tapi harusnya bisa puluhan". "Terus kenapa nggak bisa ketangkep banyak?", "Bensinnya abis Pak". Ya ini, ini nanti yang akan saya bicarakan dengan Pak KASAL dan Panglima. Saya sudah sampaikan. Dan kalau ada illegal fishing seperti itu, udahlah, kalau kita nangkepin juga, apa? Kapal yang beredar ada 5400 kapal, yang sedeng maupun yang ... 5400. Bapak-Ibu bisa bayangin, kapal. Saya nggak tau itung-itungannya dari mana, saya diberikan angka. Setaun, katanya, saya masih belum yakin, kita kehilangan 300 triliun dari situ. Income yang masuk ke negara, data yang saya terima 300 miliar setaun, hilang dah berapa taun? Ini kita ulang-ulang dari minyak, dari hutan, dari ikan, ini yang harus dibenahi. Nah, konstitusi kita mengatakan, kekayaan alam kita harus dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bayangkan, 5400 kapal, saya sampaikan kemarin, udahlah nggak usah, nggak usah tangkep-tangkep, langsung tenggelamkan. Iya betul, saya sampaikan. Tenggelamkan 10 atau 20, atau berapa, baru nanti mikir, tapi orangnya diselamatin dulu. Ini jadi rame nanti dengan negara lain kita. Ya kalau nggak ditegasin seperti itu, sampai kapan pun tungkap-tangkep, tungkap-tangkep, nggak akan rampung.

 

Saya baca negara-negara yang lain gimana sih kok pada takut. Tenggelamkan betul, tenggelamkan udah. Tenggelamkan, tenggelamkan 100, yang lain biar mikir. Jangan tenggelamkan hanya satu, dua. Kalau nggak ditegasin sumber daya alam laut kita habis, hilang, habis.

 

Saya waktu ke Sulawesi Tenggara ada beberapa coldstorage yang berhenti, tidak jalan, karena apa? Ikannya nggak ada yang masuk. Ke mana ikan ini? Ya karena diambil negara lain. Sampai seperti itu efeknya. Bapak-Ibu mau tau, ke lapangan kalo kita lihat ya seperti itu, coldstorage-nya beberapa, berhenti karena nggak ada pasokan ikan, lucu banget kan? Sama seperti kita sekarang, negara agraris tapi semuanya impor, mulai dari beras, jagung, kedelai, gula, gandum, apa lagi? Garam, daging, apa lagi yang impor kita? Sayur, buah, apalagi yang kita impor? Saya mau tanya, komoditas pertanian kita apa yang nggak impor. Ini sangat sedih ya. Saya ketemu Presiden Viet Nam, tanyanya apa coba, stok beras saya masih banyak, kapan dibeli. Coba, ini saya coba, iya nawarin gitu lo. Kita ini negara pertanian, negara agraris, inilah yang harus dirombak, dirubah. Untuk itu saya berikan target, Menteri Pertanian saya nggak mau tau, itung-itungannya seperti apa. Tiga-empat taun ini harus swasembada, harus. Diajak jadi menteri nggak diberi target kok enak, hah, beri beras tiga taun, jagung empat taun, gula mungkin agak mundur, ngga apa-apa empat taun, lima taun, tapi udah ada semuanya sudah, target-target itu ada semuanya. Saya yakin insya Allah bisa, saya yakin insya Allah bisa. Saya kemarin waktu ke, ada data ke saya irigasi rusak kita 52%, saya cek ke bawah, betul, memang betul, memang benar data itu dengan lapangannya benar. Dah, konsentrasi kita, uang kita, sekarang ini untuk waduk, untuk irigasi. Lima belas tahun kita ngga pernah bangun waduk satu pun, satu pun. Bagaimana kita mau swasembada pangan. Airnya dari mana irigasi itu? Dari waduk. Target kita lima tahun, 30 waduk harus terbangun, ini tahun depan mulai Januari sampai ini ada  sebelas waduk. Tahun depan ada sebelas waduk dimulai dibangun. Nggak ada, ngga ada jalan lain selain itu. Jangan bicara pertanian, jangan bicara, kalau airnya dari mana. Iya, buat waduk kalau kita mau produksi kita meningkat.

 

Selain masalah pupuk, selain masalah benih, teknologi benih diperbaiki. Karena kita lupakan. Karena keenakan kita beli impor. Memang lebih murah. Tetapi banyak yang mengambil rente ekonomi dari situ. Kenapa kita nggak senang memperbaiki produksi. Ya karena ada yang mau, ada yang mau impor itu, ada yang punya mau. Jadi males nanti kalau kita impor, impor, impor, mereka produksi dilupakan. Suatu saat kita mau impor, yang negara yang mau dibeli tidak punya stok, makan apa kita? Berpikirnya tidak sampai sejauh itu.

 

Saya sudah sampaikan kepada Bulog. Hati-hati tiga tahun lagi, Bulog harus siap gudang yang sangat banyak, karena produksi kita melimpah. Saya punya keyakinan itu. Dan saya sudah perintah siap-siap dari sekarang. Harus siap-siap dari sekarang. Dan menyiapkan tidak hanya gudang, tetapi juga hilirisasinya. Hilirisasi kalau kebanyakan beras mosok mau distok terus. Ya nggak tahu mau dibuat tepung, mau dibuat apa. Pasti harus ada product yang selanjutnya harus dibuat.

 

Buah juga sama. Saya melihat, petani-petani kita sebenarnya nanam, nanam, menanam jagoan semuanya. Tapi setelah nanam siapa yang beli, pakai apa? Saya pernah lihat di Boyolali, tahun berapa sudah lama. Disuruh menanam apa ini, Pepaya, nanam semuanya, dan produknya banyak sekali, nggak ada yang beli, nggak diserap pasar, nggak ada industri, jus yang disiapkan. Akhirnya ya sudah, langsung tutup, nggak ada yang mau produksi lagi. Disuruh "sudah nggak mau Pak, siapa yang mau beli". Ada mestinya yang namanya industri ekstrak jus, pasar buah untuk, ya itu tugas pemerintah, merintisnya mesti pemerintah. Itu yang tidak pernah disiapkan. Petani kita itu untuk berproduksi seperti itu siap, kalau disiapkan. Itulah problem-problem negara kita.

 

Juga, masalah energi juga. Energi kita ini jangan hanya kita berpikir hanya batubara, nggak, banyak sekali masih. Ada geothermal, bukan hanya minyak saja, bisa minyak, bisa batubara, bisa geothermal yang lebih murah. Ada yang terbarukan, hidro, angin belum kita gunakan. Banyak sekali, apa, belum yang dari biofuel yang bisa dari sorghum, banyak sekali, belum dikerjakan secara baik. Padahal yang namanya sorghum itu sebetulnya daerah-daerah yang marginal yang nggak bisa ditanami padi, nggak bisa ditanami jagung, itu ditanam dia tumbuh. Tapi sekali lagi manajemen tidak masuk ke sana, sehingga ya tidak terkerjakan sama sekali, tapi ini akan kita mulai. Terus ini sumber tambang kita, coba kita lihat Korea yang tidak punya sumber daya alam dan kita yang punya, Gross Domestic Product-nya jauh, harusnya terbalik. Dengan kekayaan itu mestinya Gross Domestic Product kita maupun GNP kita lebih baik dari mereka. Sekali lagi, ini masalah cara berpikir, pola berpikir, yang memang semuanya harus kita ubah.

 

Kemudian ya, karena tadi malam BBM naik, saya cerita ini, saya mau cerita. APBN kita 2015 ada Rp 2.039 triliun, di dalam APBN itu yang saya lihat subsidi Rp 433 triliun. Subsidi BBM-nya kira-kira Rp 300 triliun. Bapak-Ibu bisa bayangin, saya ingin memberikan bayangan. Dalam lima tahun untuk subsidi BBM kemarin Rp 714 triliun, untuk subsidi BBM. Untuk bangun infrastruktur hanya Rp 570 triliun. Untuk kesehatan hanya Rp 220 triliun. Benar tidak? Benar tidak? Tiap hari kita bakar, tiap hari kita bakar, tiap hari kita bakar Rp 714 triliun. Kalau dibuat waduk, saya itung-itung kemarin, waduk itu harganya Rp400 sampai 500 milyar, bisa jadi berapa waduk? 1.400 waduk. Bayangkan kalau dibuat waduk? Kalau dibuat jalan, kalau dibuat kereta api, misalnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua itu habisnya kira-kira Rp360 triliun. Jadi, kenapa ngga jadi? Kita bakar setiap hari.

 

Sekarang setiap hari kita bakar Rp 1 triliun subsidi BBM. Kalau saya melihat postur seperti itu, nggak, ini harus kita rubah. Dari yang boros, harus masuk ke hal-hal yang produktif. Dari yang konsumtif menjadi hal yang produktif. nggak ada yang lain, nggak ada cara yang lain, nggak mungkin kita terus-terusan Rp 714 triliun dalam lima tahun. Ini gede lagi tahun depan itu kalau nggak kita hentikan. Dan ini tidak kita sadari, karena tidak dibuka dan tidak pernah dicerita-ceritakan. Besar sekali, Rp 714 triliun itu kalau dibuat waduk, sekali lagi, 1.500 waduk. Kalau mau dipakai untuk membuat rel kereta api Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, separuhnya saja jadi. Karena 1 km itu, kereta api itu butuh Rp 15 milyar. Hapal saya sekarang gitu-gitu itu.

 

Bayangkan betapa kita ini sudah keliru mendesain anggaran kita, ini politik anggaran. Mestinya angka-angka seperti itu bisa untuk memperbaiki rumah sakit, membangun rumah sakit, membangun puskesmas, membangun sekolah, biar SDM kita menjadi baik, kemudian ketiganya untuk infrastruktur itu baru. Karena kita nggak sadar yang kita beli bensin, yang kita beli ada APBN yang masuk ke situ dan gede banget, sebelumnya.

 

Jadi subdisi nanti akan kita alihkan ke, dari yang konsumtif ke produktif. Ini pengalihan ke benih untuk petani, pupuk untuk petani, irigasi, irigasi yang benar yang seperti ini, tapi yang ada di lapangan ngga ada yang seperti ini, sulit cari yang seperti ini. Waduk? Tidak pernah kita bangun. Karena memang mahal waduk itu Rp 400-500 milyar per waduk, mahal. Tapi ini produktif, akan menghasilkan sesuatu, produksi bagi suatu negara. Nelayan, subsidi daripada dibakar setiap hari, belikan aja mesin untuk nelayan atau pendingin untuk nelayan. Mereka butuh pendingin-pendingin kecil, waktu berangkat ke laut ikannya bisa masuk. Hal-hal kecil-kecil yang perlu disentuh sehingga produksi nanti akan menjadi meningkat. Usaha kecil, usaha mikro di desa-desa perlu modal kerja.

 

APBN kita memang harus mengarah ke sana, supaya tadi yang disampaikan, di sini rasio kita ini sudah merah, sudah nol, gap  antara yang kaya dan yang miskin sudah merah, 0.413, itu 2013, merah itu, bahaya sudah, bahaya. Ini yang menjadi tugas kita. Sehingga kenapa subdisi itu dialihkan ke sini, supaya mempersempit generasio untuk kesehatan, pendidikan, terus tapi itu juga sistemnya juga harus dibangun. Memberikan subsidi ke kesehatan ke pendidikan dengan apa? Sistemnya sekarang banking system yang kita pakai. Karena yang paling akuntabel itu ya bank, nggak ada yang lain. Dulu kan, yang dulu-dulu subsidi seperti itu lewat provinsi, lewat kabupaten, lewat camat, lewat lurah, RT/RW, sudah kelamaan. Bank sajalah, bank itu punya sistem, transfer ke sana, dret, udah langsung pasti utuh. Management controlnya mudah, management checkingnya mudah, sistem itu yang kita, ingin kita bangun. Terus.

 

Pelabuhan-pelabuhan seperti ini yang kita perlukan, kita perlukan, kita juga targetkan 24 pelabuhan harus ada yang baru, ada yang diperluas. Kalau APBN kita nanti punya ruang, ya bangun sendiri, kalau nggak ya investasi. Alternatifnya hanya itu. Kalau ini bisa cepat, produksi akan masuk semuanya ke kita. Dan kapal-kapal kita, kalau nanti pelabuhannya pelabuhan dalam semuanya, bukan hanya yang vessel, tapi yang matrix vessel-nya juga masuk ke pelabuhan kita. Tidak usah kita harus lewat negara lain, langsung aja ke tujuan. Jaringan kereta api kita belum semuanya, duit itu nantinya bisa mengarah ke sana. Juga transportasi massal kita yang terlambat. Terlambat kita bangun transportasi massal, sehingga orang-orang kita senang beli mobil, senang beli sepeda motor, karena fasilitas ini tidak disiapkan oleh pemerintah. Oleh sebab ini harus dikejar. Target kita ini paling tidak di enam kota harus, transportasi massal harus kita sediakan. Jakarta sendiri sudah terlambat 26 tahun ya, 26 tahun, karena rencananya sebetulnya 26 tahun yang lalu sudah ada, rencana apa itu? Subway, MRT sudah 26 tahun yang lalu, tetapi ragu-ragu nggak diputuskan, nggak diputuskan. Padahal yang namanya infrastruktur itu semakin kita putuskan terlambat, semakin akan mahal sekali. Iya, karena pembebasan tanah pasti akan berlipat-lipat, biaya non-teknis untuk menggusur akan berllipat-lipat. Harga barangnya juga sudah akan berlipat-lipat. Sehingga kalau infrastruktur tidak usah mikir, putusin-berangkat, putusin-berangkat, putusin-berangkat, sudah begitu. Akan semakin mahal kalau nggak kita putuskan.

 

Sehingga kemarin waktu MRT itu juga sama, empat bulan saya jadi gubernur putuskan, sudah putusin, sudah, berangkat. Kalau sudah mulai kan tidak mungkin mundur. Beri target rampung empat tahun, sudah, nggak akan mundur kalau seperti itu. Tapi kalau nggak dipu..., ya kalau kita, kelamaan ragu-ragu ya nggak mulai-mulai. Memang prosedurnya ruwetnya setengah mati. Saya mengurus MRT ini, saya urus sendiri. Karena saya yakin kalau nggak saya urus sendiri nggak akan, prosedurnya. Izin-izinnya banyak sekali yang harus kita dapatkan dari kementerian. Seperti inilah yang harus kita, regulasi seperti inilah yang harus disederhanakan. Jangan ruwet-ruwet. Saya mengurus sendiri aja lama sekali sebagai gubernur, apalagi swasta. Bayangkan.

 

Indonesia sekarang ini mengurus pembangkit tenaga listrik power plan, swasta ada yang komplain ke saya. "Dua tahun, Pak, belum selesai." Saya ke Kalimantan, "empat tahun, Pak, izin saya belum selesai." Saya sudah geleng-geleng. Ke Sumsel ada lagi, "Pak, punya saya enam tahun, Pak, belum selesai."

 

Izin, izin, belum bangun lho, ini izin. Kalau saya punya duit, ngapain saya ngurusi buat listrik, pakai yang lain. Kalau semua orang berpikir seperti itu, nggak ada yang mau bangun pembangkit listrik. Ya hasilnya sekarang yang kita lihat. Kalimantan byar-pet, Sumut, Sumsel byar-pet. Hanya masalah satu: izin. Tapi ada yang lucu, yang di Sumsel, begitu kita telpon, nggak ada seminggu jadi. Tapi apa presiden telpan-telpon begitu. Masa seperti itu. Siapa yang izinnya lama, saya telponkan, seminggu kalau yang telpon presiden seminggu jadi. Masa seperti itu. Sehingga presiden ini yang harus kita kerjakan. Tapi memang kalau izin diberi target itu ya rampung.

 

Kemarin izin relokasi yang di Sinabung bertahun-tahun nggak rampung-rampung, saya tanya ke Bupati, Gubernur. "Pak, izinnya ini di kementerian Pak belum." "Kementerian mana?" Ini Pak. Saya telpon ke menteri, "Bu, saya minta ijin, ini besok siang jadi." Iya Pak".

 

Malamnya sudah diantar ke saya. Izin itu sebenarnya apa sih gitu lho? Kan hanya, ada tulisan ditandatangani kan, kan hanya itu kan? Marilah kita berpikir simpel. Izin itu apa? Kan sudah dicek oleh bupati, sudah gubernur, artinya udah betul kan, gitu lho. Di sini bisa langsung teken sajalah, kok lama banget, bertahun-tahun, begitu ditelpon ya jadi, nyatanya.

 

Ini yang Maritim kita, ini yang sering saya bilang, sering saya sampaikan tol laut ya ini. Tol laut itu sebetulnya apa sih? Sebetulnya ya, sistem transportasi yang ada di laut yang nanti akan menyebabkan distribusi logistik, manajemen distribusi logistik itu lebih mudah, lebih murah. Karena angkutan yang paling murah itu ya laut, nggak ada yang lain. Apalagi kita 2/3 Indonesia itu adalah air, dan ini nggak kita manfaatkan, sehingga nanti pembangunan deep sea port-nya di titik-titik ini. Kalau itu jadi, ya nanti harga semen di manapun, di seluruh Tanah Air akan sama. Jangan ada yang berpikiran tol laut itu, jalan tol di atas laut. Saya di kampung ada yang bertanya seperti itu. Terus.

 

Nah, ini yang sering saya sampaikan harga, nah, ini power plan listrik. Masalah ini, banyak yang ingin bangun tetapi masalah izin menjadi problem. Tapi ini sebentar lagi juga rampunglah, hanya masalah, kembali lagi masalah regulasi yang harus disederhanakan. Sehingga kepastian itu jelas, kapan selesai, berapa harus bayar.

Kemudian yang problem juga di lapangan yang kita lihat di negara kita ini adalah pembebasan lahan. Ini problem. Pemerintah aja membebaskan kesulitan, apalagi BUMN, apalagi swasta. Sehingga mereka banyak yang apa, menghindar hal-hal yang berkaitan dengan ini. Ini juga harus kita sederhanakan. Terus.

 

Ini yang di..., saya ceritain, di Jakarta Outer Ring Road, itu 15 tahun yang lalu dibangun, tujuh tahun yang lalu berhenti gara-gara 1,5 km. 143 KK nggak mau dibebasin, berapa triliun yang sudah diinvestasikan berhenti gara-gara 143 KK. Kalau saya nggak bisa, tidak ada toleransi untuk itu. Ini untuk kepentingan jutaan orang, kita tergantung pada 143 KK. Kemarin udah, sebetulnya mau langsung saya gusur gitu saja, tetapi ya sudahlah saya turun ke bawah dulu, saya ajak makan empat kali makan rampung ya sudah, tidak jadi digusur langsung.

 

Memang pemerintah kalau nggak tegas seperti begitu kapan jadinya infrastruktur kita? Tapi sebetulnya diajak bicara baik-baik, rakyat itu juga sebetulnya gampang. Hanya kita ini nggak, seneng tidak pendekatan seperti itu nggak kita lakukan. Ini dulu kan berhenti di sini, sekarang sudah rampung semuanya. Yang tadi mana? Tadi gambar, ketemu tadi? Ha ini butuh pertemuan seperti ini empat kali, undang makan, undang makan, undang makan, undang makan, terakhir gimana, setuju ndak? Ya... mesti begini, begini, "Ya, Pak. Setuju, Pak." Yang penting setuju, udah cepat, bayar, rampung. Ini saya, nah ini saya, tidak kelihatan sih. Yah hanya pendekatan seperti itu. Ini, seperti ini ribuan banyak sekali problem di situ. Di Jawa Tengah ada, Kalimantan Timur ada, ya problem-problem seperti itu.

 

Nah ini, ini yang penting. Ini saya udah perintahkan kepada gubernur, bupati, walikota, setiap kabupaten, kota, propinsi harus punya one stop service. Di nasional juga sama, punya national one stop service. Izin itu hanya satu pintu, bukan pintunya satu, hanya satu, sekali masuk semua perizinan terlayani, nggak ada yang lain. Kalau ini kita lakukan, dalam waktu dekat ini insya Allah, apa pembebasan lahan bisa rampung, izin-izin bisa cepat. Saya punya keyakinan, insya Allah ekonomi kita akan sangat baik, siapa yang menikmati? Rakyat. Harus punya keyakinan itu kalau yang tadi, tadi, tadi itu kita lakukan, siapa yang menikmati? Rakyat. nggak ada yang lain.

 

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.

 

Terima kasih.

 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

 

 

 

 

Asisten Deputi Naskah dan Penerjemahan,

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan,

Kementerian Sekretariat Negara RI