Strategi Konsesi dalam Manuver Ekonomi Indonesia Menghadapi Tekanan Tarif Dagang Amerika Serikat

 
bagikan berita ke :

Kamis, 17 Juli 2025
Di baca 702 kali

Oleh:

Faisal Fahmi, S.H., M.H., Pranata Hubungan Masyarakat Ahli Madya Kementerian Sekretariat Negara, yang pernah belajar Conflict Resolutions, Mediation, and Negotiation di Vrije Universiteit Amsterdam, dan Centrum voor Conflicthantering in Haarlem


 

Apakah Indonesia sedang “menyerah” dalam kesepakatan dagang terbaru dengan Amerika Serikat? Sekilas, pertanyaan ini tampak masuk akal, apalagi jika merujuk pada pernyataan Presiden Trump dalam beberapa video yang berkembang di berbagai media. Trump menyebut bahwa negaranya telah menurunkan tarif impor atas produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. Selintas terdengar seperti kabar baik bagi Indonesia. Namun apabila dicermati lebih lanjut, langkah tersebut diimbangi dengan daftar panjang syarat kepada Indonesia.

Dengan gaya khas dan intimidatifnya, saya menangkap manuver yang dilakukan Trump ini, seperti tidak mau kehilangan muka atau terlihat mengurangi hegemoni Amerika Serikat dalam perdagangan global yang juga sempat me-mention India berada di jalur yang sama.

Seolah-olah melalui skema ini, Trump ingin berkata kepada publik dunia “Kami beri kelonggaran tarif untuk Indonesia, tapi dengan syarat Indonesia harus membuka pasar selebar-lebarnya bagi produk kami, membeli barang kami dalam jumlah fantastis, serta memberikan akses penuh terhadap sumber daya alamnya”

Trump mengajukan sejumlah syarat yang tampak berat, AS meminta Indonesia membebaskan tarif impor bagi produk mereka, alias nol persen tanpa kompromi. Tak hanya itu, Indonesia juga diminta membeli energi Amerika Serikat senilai 15 miliar dolar, produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar, serta 50 unit pesawat Boeing. Tambah lagi, Trump menegaskan bahwa Amerika Serikat akan memperoleh akses penuh atas tembaga Indonesia yang menjadi komoditas strategis berbagai industri global saat ini.

Selintas, dengan melihat daftar panjang komitmen ini, banyak yang langsung menganggap Indonesia terpaksa mengalah atau bahkan dipaksa tunduk demi menyelamatkan hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Namun, jika kita hanya menilai dari daftar kewajiban dan pada angka-angka permukaan, pandangan ini terlalu sempit dan kita akan terjebak dalam narasi kekalahan.

Dunia diplomasi ekonomi tidak bekerja sesederhana kalkulasi untung-rugi dalam hitungan instan atau sesederhana hitung-hitungan tarif bea masuk. Bisa jadi Indonesia sedang memainkan apa yang dalam literatur negosiasi disebut Strategic Concession, seni mengalah secara strategis untuk meraih tujuan yang lebih besar, salah satu strategi tertua dan paling canggih dalam seni negosiasi.

Strategic concession, sebagaimana dijelaskan dalam karya Roger Fisher dan William Ury dalam Getting to Yes: Negotiation an Agreement Without Giving in, adalah tindakan memberi konsesi secara sadar dan terencana demi mencapai tujuan jangka panjang yang lebih besar. Bukan tanda kelemahan, tetapi justru bentuk kecerdasan diplomasi yang terukur.

Dalam konteks ini, Indonesia tampak memberikan beberapa konsesi besar atau dalam kata lain “mengalah”. Namun, jika ditelusuri lebih dalam dengan menggunakan pendekatan strategic concession, Indonesia rela memberi konsesi dalam satu atau beberapa bidang kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat dengan perhitungan bahwa itu akan membuka peluang lebih luas atau mengamankan keuntungan jangka panjang di sektor lain. Dengan kata lain, Indonesia mungkin tampak “mengalah” pada beberapa poin, tetapi melakukannya secara sadar, terukur, dan dengan visi strategis ke depan

Banyak dari keputusan tersebut justru merupakan investasi strategis di masa depan. Amerika Serikat adalah salah satu pasar paling penting bukan hanya untuk Indonesia, tetapi menjadi pasar global yang sangat strategis. Amerika Serikat menjadi tujuan utama ekspor produk padat karya kita, mulai dari alas kaki, tekstil, furnitur, udang, hingga produk pertanian seperti kopi.

Industri-industri tersebut menyerap jutaan tenaga kerja di Jawa, Sumatera, Bali, dan hampir seluruh wilayah di Indonesia. Saat Amerika Serikat menurunkan tarif impor produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen, nilai kompetitif produk kita otomatis naik di pasar Amerika Serikat. Ini bisa memicu kenaikan permintaan, memperbesar volume ekspor, serta menjaga roda pabrik kita tetap berputar, dan yang paling utama akan menyerap tenaga kerja lebih besar lagi di dalam negeri. Artinya, keberlanjutan ekspor ke Amerika Serikat berarti keberlanjutan pekerjaan bagi rakyat Indonesia.

Jika melihat dari perspektif regional, data per 16 Juli 2025 menunjukkan bahwa Indonesia justru mendapatkan keuntungan signifikan terkait tarif impor ke Amerika Serikat. Saat ini, tarif produk Indonesia yang masuk ke pasar AS dikenakan sebesar 19 persen, menjadikannya yang terendah kedua di antara negara-negara ASEAN, setelah Singapura yang hanya dikenai tarif 10 persen. Negara-negara lain dikenai tarif lebih tinggi, yakni Filipina dan Vietnam sebesar 20 persen, Malaysia 25 persen, Thailand dan Kamboja 36 persen, dan Myanmar serta Laos menjadi yang tertinggi dengan tarif mencapai 40 persen. 


 

 

Keunggulan tarif ini memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekspor, khususnya di tengah kompetisi yang selama ini lebih didominasi oleh negara seperti Thailand dan Vietnam. Meskipun dalam satu hingga dua dekade terakhir Indonesia terus berupaya mengejar ketertinggalan, realitasnya saat ini kita masih berada di posisi sebagai pengekor atau follower dalam rantai ekspor ke pasar Amerika.

Tentu bukan berarti Indonesia ingin mengambil keuntungan sepihak tanpa memperhatikan harmoni dan kerja sama di kawasan ASEAN. Namun, situasi ini seyogianya dimanfaatkan sebagai momentum percepatan bagi Indonesia untuk memperkuat posisi ekspornya ke Amerika Serikat. Dengan tarif yang kini lebih kompetitif, pemerintah dan pelaku industri nasional perlu bergerak cepat untuk merebut pangsa pasar yang selama ini lebih dulu dinikmati negara-negara tetangga. Inilah waktunya memanfaatkan keuntungan tarif sebagai batu loncatan bagi ekspor nasional.

Kemudian, dalam dunia perdagangan global yang sangat kompetitif, mendapat akses yang lebih baik ke pasar Amerika Serikat bukan hanya keuntungan ekonomi, tetapi juga penopang stabilitas sosial nasional. Dengan meningkatnya permintaan dari Amerika Serikat, produksi akan meningkat, industri lokal akan bergairah, dan pengangguran bisa ditekan. Ini bukan semata angka perdagangan, tetapi fondasi kesejahteraan nasional.


Visi Strategis dan Permainan Jangka Panjang

Pemerintah tampaknya sedang bermain dalam permainan rally, bukan sprint. Dalam jangka panjang, nilai ekspor yang meningkat bisa menutupi bahkan melampaui nilai belanja atas energi, pertanian, atau pesawat dari Amerika Serikat. Sebagai ilustrasi, ekspor alas kaki dan tekstil ke Amerika Serikat saja berpotensi menghasilkan miliaran dolar dalam beberapa tahun ke depan. Itu belum termasuk efek domino pada sektor logistik, distribusi, dan konsumsi domestik.

Pembelian 50 unit pesawat Boeing pun bukan sekadar transaksi komersial. Dalam diplomasi global, kontrak bernilai besar seperti ini sering dijadikan instrumen untuk menjaga kemitraan strategis. Indonesia sedang menunjukkan bahwa ia mampu menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat, tanpa harus mengorbankan otonomi kebijakan luar negeri. Dalam konteks rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok yang kian memanas, menjaga posisi netral yang aktif adalah Aset diplomatik luar biasa.

Kita juga harus melihat potensi transfer teknologi dari pembelian pesawat tersebut. Seperti yang terjadi di Vietnam, kontrak besar dengan Boeing pada April tahun 2025 ini, bisa membuka peluang kerja sama pelatihan teknisi, pengembangan industri aviasi lokal, dan bahkan peningkatan akses ekspor di sektor lain seperti elektronik dan tekstil. Indonesia pun dapat menempuh jalur serupa, dengan dampak positif pada SDM dan ekosistem industri nasional.

Lalu bagaimana dengan akses penuh Amerika Serikat terhadap tembaga Indonesia? Di sinilah letak kecermatan strategi Indonesia. Meski memberi akses pasar, pemerintah tetap mewajibkan pengolahan (smelting) dilakukan di dalam negeri, selaras dengan kebijakan hilirisasi sumber daya mineral yang telah digencarkan sejak beberapa tahun terakhir. Artinya, nilai tambah tetap dinikmati di dalam negeri, tenaga kerja terserap, dan penerimaan pajak meningkat.

Dengan pendekatan ini, Indonesia tetap memegang kendali produksi dan pengelolaan SDA strategisnya. Bahkan dalam “konsesi”, Indonesia masih menetapkan syarat yang memperkuat kedaulatan ekonominya.


Keuntungan Politik yang Tidak Tercatat dalam Neraca Dagang

Di luar aspek ekonomi, kesepakatan ini juga membawa keuntungan non-ekonomi yang tidak kalah penting. Hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat memberi Indonesia pengaruh dan ruang gerak yang lebih luas di forum-forum internasional seperti WTO, IMF, G20, hingga BRICS. Dengan posisi sebagai mitra strategis, Indonesia bisa mengadvokasi isu-isu penting seperti diskriminasi terhadap produk sawit atau tantangan dalam transisi energi global dengan posisi tawar yang lebih kuat.

Jika semua hal ini dilihat secara utuh dan jangka panjang, maka menyebut Indonesia kalah dalam kesepakatan ini adalah kesimpulan yang terlalu prematur. Dunia diplomasi dan negosiasi tidak dibangun atas dasar ego menang-kalah. Ini adalah panggung permainan jangka panjang yang menuntut strategi, kesabaran, dan kalkulasi mendalam.

Selama Indonesia mampu memastikan bahwa manfaat dari hilirisasi tembaga, peningkatan ekspor, pembukaan lapangan kerja, transfer teknologi, hingga stabilitas geopolitik bisa dijaga dan ditumbuhkan, maka kesepakatan ini justru menjadi tonggak cerdas dalam mengelola hubungan dengan kekuatan global.

Strategic concession seperti ini telah banyak digunakan oleh negara-negara berkembang dalam menghadapi negara besar. Bukan untuk tunduk, melainkan untuk tetap punya posisi tawar, sambil menjaga hubungan baik yang konstruktif. Dan kali ini, Indonesia memainkan peran itu dengan cukup baik dan cerdas.

 

*Tulisan merupakan opini pribadi penulis

 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
3           3           1           1           10